Keraguan terhadap efektivitas Sinovac muncul pada Juni, ketika sejumlah dokter Indonesia yang telah divaksinasi penuh mulai terinfeksi Covid-19. IDI mencatat sedikitnya 20 dokter meninggal yang telah divaksinasi penuh menggunakan Sinovac, salah satunya ilmuwan yang melakukan uji coba Sinovac, Novilia Sjafri Bachtiar. Awal bulan ini, WHO menyetujui penggunaan darurat vaksin tersebut.
Perwakilan Sinovac dan Sinopharm tidak menanggapi permintaan komentar. Pada Juni, Sinovac mengatakan kepada koran pemerintah China, Global Times, vaksinnya tidak bisa memberi 100 persen perlindungan tapi bisa mengurangi tingkat keparahan penyakit dan kematian.
CEO Sinovac, Yin Weidong, saat berbicara pekan lalu di forum yang diselenggarakan Menteri Luar Negeri China, mengatakan perusahaannya akan mengajukan penelitian klinis dan izin penggunaan darurat untuk varian delta ke regulator China dalam beberapa hari mendatang. Dia juga mengatakan perusahaannya memiliki kapasitas produksi yang cukup untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin untuk mengatasi varian baru.
Beralih ke vaksin buatan Barat
Indonesia yang berpenduduk 270 juta itu mulai memberikan vaksin Moderna buatan AS pada akhir Juli kepada tenaga kesehatan, setelah Washington menyumbangkan 8 juta dosis.
Adegan saat sumbangan vaksin ini tiba dalam kotak-kotak yang dihiasi dengan bendera Amerika, kontras dengan yang terjadi pada Januari lalu ketika Presiden Indonesia Joko Widodo disuntik vaksin Sinovac dengan disiarkan langsung di televisi. Pejabat kesehatan mengangkat kotak vaksin, yang bertuliskan nama Sinovac, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada vaksin tersebut. Media pemerintah China memuji langkah Jokowi sambil menggembar-gemborkan vaksinnya “aman dan efektif.”
Thailand juga beralih mencampur dosis vaksin, mengubah kebijakannya pada pertengahan Juli mengimunisasi penduduknya dengan suntikan pertama menggunakan Sinovac dan dosis kedua menggunakan AstraZeneca. Tenaga kesehatan yang telah divaksinasi penuh dengan Sinovac akan menerima suntikan booster ketiga menggunakan AstraZeneca, Pfizer atau Moderna.
Sebelum kebijakan tersebut berubah, media Thailand melaporkan adanya sebuah memo, yang diperkirakan bocor saat para pejabat rapat soal vaksin. Memo itu menentang penggunaan vaksin berbeda untuk suntikan booster bagi mereka yang telah divaksinasi penuh menggunakan Sinovac karena akan menjadi pengakuan bahwa vaksin China “tidak bisa memberi perlindungan”. Bocoran informasi itu memicu kemarahan dan tagar “BeriPfizerUntukTenagaMedis menjadi trending di media sosial.
Bahkan Kamboja, sekutu terdekat Beijing juga beralih menggunakan vaksin AstraZeneca sebagai suntikan booster untuk mereka yang telah menerima dua dosis vaksin buatan China yang ditelah diberikan kepada sekitar setengah dari populasi negara tersebut.
Menanggapi pertanyaan pada Mei apakah Kamboja sangat bergantung pada China, Perdana Menteri Hun Sen menjawab: “Kalau saya tidak bergantung pada China, kepada siapa saya akan bergantung? Jika saya tidak meminta China, kepada siapa saya minta? Tanpa bantuan dari China, mungkin kita tidak akan punya vaksin untuk rakyat kita.”
China akan menyumbangkan 2 miliar dosis vaksin kepada negara-negara berkembang tahun ini, seperti disampaikan Presiden Xi Jinping pekan lalu.[merdeka]