Eramuslim.com – Tagline “Ayo Kerja!” dalam logo HUT Kemerdekaan RI ke-70 tampaknya cuma retorika kosong Pemerintahan Joko-JK. Sebab, kini ribuan orang tengah menyandang status pengangguran karena pemutusan hubungan kerja.
PHK besar-besaran terjadi di sejumlah perusahaan besar. Kemenaker menyebut, per Juli 2015 ini, ada 11.350 pekerja terpaksa menyandang status baru sebagai pengangguran. Data itu baru diperoleh dari lima provinsi. Yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Kalimantan Timur.
Presiden Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut perusahaan sebenarnya telah berupaya mencegah terjadinya PHK. Namun, apa daya kondisi perekonomian memang terus melemah.
Said mencontohkan, pada kuartal pertama ada banyak perusahaan yang sudah mati-matian melakukan efisiensi. Upaya itu dilakukan dengan mengurangi jam kerja buruh. Selain itu ada juga kebijakan merumahkan karyawan.
“Merumahkan itu maksudnya dalam seminggu harusnya 5 hari kerja. Tapi terjadi efisiensi 3 hari kerja, 2 hari di rumah,” jelasnya.
Tapi kenyataannya hal itu juga tidak bisa membantu nafas perusahaan.
Deretan angka jumlah pengangguran selama tujuh bulan terakhir ini membuat Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri membentuk tim investigasi. Tim yang dipimpin Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Haiyani Rumondang itu bertugas memantau daerah-daerah untuk mencari penyebab melesatnya jumlah pengangguran.
Haiyani mengatakan, PHK tak dapat dihindari karena pengusaha harus mengencangkan ikat pinggang. Para pengusaha tak bisa bergerak akibat terus lesunya perekonomian belakangan ini. “Pengurangan produksi sudah dilakukan. Tapi, ternyata masih dirasa cukup berat,” tutur Haiyani.
Said Iqbal justru mendesak Pemerintah sungguh-sungguh menjalankan sejumlah kebijakan yang bisa mencegah perlambatan ekonomi. Sebab bagi serikat pekerja, kebijakan pemerintah saat ini sebatas retorika.
Said mencontohkan, Presiden Joko menyatakan perekonomian Indonesia membaik. Tapi, kenyataan di lapangan serapan APBN rendah.
“Regulasi yang bisa mencegah perlambatan ekonomi juga belum sepenuhnya dijalankan. Terutama kebijakan terkait beban logistik dan kepelabuhanan. Kasus dwelling time, bisa menjadi contoh nyata,” kata Said.
Menurut dia, kasus itu menunjukan pemerintah belum serius membenahi kebijakan kepelabuhanan. Said berharap, dwelling time tidak berhenti pada pengungkapan perkara di Tanjung Priok. Namun kejadian itu juga menjadi trigger perbaikan peraturan kepelabuhanan. “Banyak pengusaha yang mengeluh beban produksinya tinggi karena dwelling time itu,” ujarnya. Faktor-faktor itulah yang tanpa disadari menjadi beban bagi para pengusaha yang efeknya kemudian ke para buruh. Sebab itu, tagline “Ayo Kerja” sungguh-sungguh ngawur.(rz/pribuminews)