Eramuslim – Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (TA GNPF) Ulama menyampaikan laporan evaluasi penegakan hukum di Indonesia selama tahun 2017 pasca Aksi Bela Islam tahun 2016 lalu.
Ketua TA GNPF Ulama, Nashrullah Nasution, menyatakan bahwa politik hukum berupa penerbitan kebijakan oleh kekuasaan berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konferensi pers di Ar-Rahman Qur’anic Learning (AQL) Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (22/12).
“Contohnya, dengan terbitnya Perppu No 2 Tahun 2017 pada tanggal 10 Juli 2017 yang mengatur tentang perubahan atas UU No 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), merupakan bentuk abuse of power (penggunaan kekuasaan, Red) dari penguasa yang bertujuan untuk membatasi hak dan kebebasan warga negara dalam melaksanakan hak asasinya di bidang sipil dan politik,” ungkapnya.
Kedua, katanya, adanya politisasi institusi penegak hukum sehingga berdampak pada proses penegakan hukum yang tidak adil (unfair).
“Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus yang dituduhkan kepada para ulama dan aktivis di seluruh Indonesia,” lanjutnya.
Ketiga, lanjut Nashrullah, konsekuensi logis dari dua poin tersebut telah menimbulkan korban dan pelaku pelanggaran HAM.
“Dari data yang kami himpun menunjukkan bahwa ulama dan aktivis adalah korban yang paling banyak mengalami pelanggaran HAM, sementara institusi penegak hukum sebagai pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM,” tandasnya. (HI/Ram)