Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyatakan, tidak akan ada pencaplokan terhadap wilayah luar Jakarta dengan berubahnya Jakarta sebagai megapolitan. Demikian Sutiyoso dalam dialektika demokrasi bertajuk “Konsep Megapolitan Sebuah Kebutuhan” di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Jumat (3/3).
Menurutnya, megapolitan itu bersifat administratif di mana dalam melaksanakan Megapolitan itu mesti ada koordinatornya, yaitu Jakarta karena tanpa koordinasi maka tidak akan jalan.
“Kita hanya mensinergikan tata ruang. Yang menjabat bupati tetap bupati, DPRD juga tetap DPRD, dan atasan Tangerang tetap Gubernur Banten. Demikian juga Bogor, Depok, Puncak, dan Bekasi,” ujar Sutiyoso.
Ia membantah tuduhan konsep megapolitan itu untuk memperpanjang jabatan dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang akan berakhir 2007 mendatang. Bahwa megapolitan ini sebagai proses alami dan merupakan kepentingan semua kota. Contohnya sudah dilakukan oleh Amerika Serikat, Swiss, Tokyo, Singapura dan negara lain. Jadi, bukan sesuatu yang aneh.
Ia menegaskan, gagasan megapolitan itu muncul ketika dirinya coba menata kembali transportasi Jakarta dengan mengeluarkan kebijakan Bus Way, dan kini Monorel Jakarta yang sedang dibangun. Kebijakan itu melihat besar dan pesatnya transportasi warga Tengerang, Bogor, Depok, dan Bekasi yang ke Jakarta hingga mencapai 650 ribu orang setiap harinya.
“Kalau keadaan itu tidak diatur dengan baik maka akan terjadi overload. Sampah juga demikian, sehingga tidak saja Jakarta yang menggunakan teknologi canggih. Juga banjir yang belum teratasi dengan baik karena hulunya di Cianjur yang terhambat. Untuk itu perlu diatasi bersama-sama secara sinergi,” papar Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso. (dina)