Korupsi masih menjadi kasus yang sistemik, endemik, dan terjadi di mana-mana meskipun komitmen para kepala daerah dalam memerangi korupsi meningkat. Hal ini terungkap dari hasil survey Transparency Internasional Indonesia (TII).
Survey itu dilakukan sepanjang bulan Oktober-Desember 2006, melibatkan 1.760 responden dari pelaku usaha dari 32 kota di Indonesia.
"Kita telah melihat potret Indonesia yang terbelah, kita telah melihat persepsi yang ambigu dan hasil yang tidak optimal dalam pemberantasan korupsi, " ujar Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis dalam pemaparan hasil survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, di Hotel Four Seasons, Jakarta, Selasa (27/2).
Dalam penentuan indeks persepsi korupsi ini, kata Todung, menggunakan pembanding (variabel) lain yakni indikator suap dalam kontrak bisnis antara pengusaha dengan institusi publik, serta pelayanan publik.
Sekjen TII Rizal Malik menjelaskan, polisi, peradilan, militer, dan Badan Pertanahan Nasional masih menduduki peringkat tertinggi pelaku korupsi. Penurunan justeru terjadi pada beberapa instansi yang selama ini dikenal sangat korup, seperti pajak, bea cukai, telkom, dan PLN.
"Hampir semua responden mengakui bahwa dalam tiga tahun mendatang akan terjadi penurunan permintaan suap (korupsi) di beberapa instansi. Hal ini tentu akan melegakan, tapi harus dibuktikan dengan kenyataan, " jelasnya.
Ia menambahkan, instansi publik yang dikenal banyak melakukan permintaan suap adalah pengadilan, bea cukai, Imigrasi, dan DPRD yang disusul beberapa instansi lainnya.
"Lembaga pelayanan itu umumnya tidak malu-malu minta suap, di samping ada juga lembaga yang menawarkan diri, " imbuhnya.
Rizal menyatakan, suap-menyuap dalam pelayanan publik dan bisnis jelas sangat merusak citra Indonesia, dan yang pasti dapat merugikan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Karenanya peran KPK masih diperlukan dalam rangka meneruskan upaya pemberantasan korupsi dalam bentuk apapun. (novel)