Sulit Membawa Kasus Rocky Gerung ke Ranah Pidana, Mau Lewat Mana?

Oleh: Gde Siriana

Pengamat Politik Rocky Gerung kembali menyita perhatian. Kini, ia dilaporkan oleh relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi) buntut dari sebutan Bajingan Tolol.

Ia diduga telah menghina presiden Jokowi. Terkait dirinya dilaporkan akibat penghinaan, Rocky mengatakan bahwa dirinya mempunyai hak berpendapat sebagai warga negara.

“Saya berhak untuk mengajukan pandangan politik saya, sama seperti saya menghormati para pemuja dan pemuji Jokowi, kan saya enggak laporin ke Bareskrim mereka,” kata Rocky di Kanal Youtube-nya.

Pelaporan ke polisi tersebut menimbulkan banyak respon komentar, termasuk Gde Siriana – Direktur Eksekutif INFUS (Indonesia Future Studies), berikut uraiannya:

Apa bisa termasuk Pasal penghinaan?

Ini adalah opini Rocky Gerung, terkait dengan Jokowi sebagai presiden dalam forum akademis. Orang tidak perduli dengan orang bodoh atau pintar, tetapi orang peduli ketika presidennya bodoh atau pintar. Jadi, konteksnya ini kritik kepada Presiden. Ini dilindungi konstitusi.

Apa kena delik Pasal berita bohong?

Sebelumnya juga ada opini Presiden Jokowi mirip Umar bin Khattab. Akan tetapi itu tidak dipermasalahkan secara hukum meskipun sebagian masyarakat tidak setuju dengan opini tersebut. Mengapa ketika opini yang negatif dijadikan berita bohong? Jadi opini negatif dan positif ini harus diterima publik secara proporsional. Persepsi orang boleh pro dan kontra terhadap opini.

Bisa kena Pasal ujaran kebencian?

Mau gunakan apa sebagai kebencian itu, suku, agama, atau apa? Sekali lagi ini soal kritik kepada presiden, bukan Jokowi sebagai pribadi. Orang boleh ngomong DPR-nya goblok bisa dikadalin eksekutif misalnya. Dalam konteks hubungan negara dan rakyat, kalimat goblok, bodoh, tolol digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan seorang pejabat negara, misalnya membuat kebijakan yang salah yang merugikan rakyat banyak. Suka atau tidak suka, pejabat negara harus bisa nenerima ini tanpa sakit hati. Sekali lagi ini wujud dari kritik.

Pernah terjadi gubernur yang bilang “gila lu,” kepada DPRD, terkait pembahasan Raperda reklamasi Jakarta. Bahkan itu tertulis. Tapi tidak terjadi pidana dalam hal itu.

Penutup

Jadi kalau pejabat publik dibilang goblok atau dituduh korupsi, ya tidak perlu dibawa ke ranah hukum. Masyarakat tidak mungkin periksa kejiwaan pejabatnya ke psikiater dulu atau proses pengadilan kasus korupsinya, baru ngomong, eh kamu pejabat goblok, eh kamu pejabat koruptor. Apa yang dilakukan oleh publik harus dianggap sebagai kritik. Pejabat yang dianggap goblok terkait kebijakannya salah ya tinggal diperbaiki kebijakannya. Pejabat yang tidak korupsi, ya tinggal buktikan dia tidak korupsi, misalnya minta diaudit agar masyarakat yakin dia bersih. (-)

Beri Komentar