Faktor selanjutnya adalah dari vaksinnya. Mahardika mengatakan, jika vaksin sudah beredar maka dipastikan sudah aman. Namun ia mempersoalkan tentang cara vaksin itu dikemas ke dalam botol-botol kecil. Ia melihat dalam pengemasan vaksin dari bulk ke bentuk sekali suntik cenderung rentan gangguan.
“Yang ketiga, dari vaksinnya sendiri bagaimana dengan proses cold chain-nya atau rantai dingin. Ada enggak gangguan dalam rantai dinginnya. Kalau minor mungkin sedikit gangguannya, tapi efeknya mungkin pada satu, dua dosis bisa saja mempunyai efek kehilangan dayanya sebagai vaksin,” paparnya.
Kemudian dalam proses vaksinasinya. Bisa saja terjadi kerusakan di sana. Mahardika tak menampikan kondisi seperti itu mengingat itu semua dilakukan oleh manusia yang bisa saja terjadi kesalahan.
“Tapi kita lihat data apakah fenomena ini terjadi dalam persentase yang sangat besar. Kalau hanya kecil ya dari segi vaksinologi dianggap normal,” ujar Mahardika.
Menurutnya, selama persentase kegagalan vaksin itu di bawah satu persen, maka hal tersebut dianggap wajar.
“Sama dengan gangguan KIPI oleh AstraZeneca itu di Eropa ditengarai terjadi 7 dari 1 juta orang ya. Itu 0,00 sekian persen itu kecil, sehingga kemudian secara ilmiah itu dianggap acceptable,” ucap dia.
Kendati begitu, Mahardika justru mengkritisi langkah anggota dewan yang justru menyuntikan dua vaksin sekaligus. Menurutnya hal itu sebuah aksi yang keliru. Pasalnya vaksinasi cukup dilakukan menggunakan satu jenis vaksin.
“Ngapain mereka vaksin Sinovac dicoba vaksin Nusantara lagi? No use-lah vaksin Nusantara enggak ngefek sama sekali,” pungkasnya.[merdeka]