Suara Sah Menurut Hukum Pemilu

Kebijakan

Suara disitung KPU, secara hukum tidak memiliki nilai, sifat dan kapasitas

sebagai suara sah. Itu sebabnya, dengan tanpa Situng sekalipun, tidak ada

pengaruh. Konsekuensi hukumnya suara pemilih pada situng KPU tidak memiliki nilai dan akibat hukum apapun. Suara-suara di Situng KPU tidak sah digunakan sebagai patokan untuk menilai sah atau tidak sahnya Form C1 berhologram yang dipegang oleh, misalnya saksi. Tidak. Hanya form C1 berhologram yang bisa digunakan, dengan menyandingkannya untuk menguji dokumen yang mirip dalam rangka memastikan sah atau tidak sahnya Form C1 yang dimliki oleh  saksi pasangan calon atau caleg.

Situng, sekali lagi, tidak bisa digunakan sebagai dasar penilaian perolehan suara termasuk kesahihan dokumen Form C1, karena beberapa sebab. Pertama, Situng tidak diperintahkan UU untuk diadakan. Kedua, Situng diadakan berdasarkan Peraturan KPU, dan disinilah masalahnya. Apa masalahnya? Peraturan ini jelas tidak masuk dalam kategori peraturan perundangan menurut pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Tetapi itu tidak berarti PKPU tidak masuk kategori peraturan perundangan.

PKPU masuk dalam kategori peraturan perudangan pasal 8 ayat (1). Kekuatan mengikat peraturan-perundangan jenis ini ditentukan oleh dua keadaan hukum. Kedua hukum itu adalah Pertama  diperintahkanpembentukannya oleh Peraturan yang lebih tinggi. Kedua, dibentuk berdasarkan kewenangan. Situng, jelas tidak diperintahkan oleh UU Nomor 7 tahun 2017, melainkan  diperintahkan oleh PKPU. Makna hukumnya adalah keberadaan Situng merupakan wujud kebijakan KPU yang dituangkan dalam PKPU.

PKPU sama seperti peratruran lainnya yang sejenis dan atau sederajat dalam ilmu hukum administrasi menyandang sifat sebagai peraturan kebijakan, peraturan yang dibuat oleh Badan yang memiliki kewenangan untuk memberi dasar terhadap kebijakan, tindakan hukum berupa pengadaan Situng.  Sebagaiperaturan kebijakan, maka Situng harus memenuhi tujuan yang ditetapkan dalam pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Tujuannya; a. melancarkan penyelenggaraan  pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan kepentingan umum.