Gegap gempita Pemilu, baik Pemilu Legislatif maupun Pilpres, sudah diambang mata. Partai-partai politik yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat pun telah mulai berkampanye. Media massa, baik teve, cetak, maupun radio, berlomba-lomba memeritakan tingkah-polah partai-partai politik itu, termasuk tokoh-tokohnya, dan juga perselisihan yangterjadi di antara mereka.
Ajang demokrasi lima tahunan, selain pilkadal tentunya, memang mengharu-biru setiap perjalanan bangsa ini. Yang tadinya kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan pun bisa tetap menjadi musuh. Semua hal menjadi mungkin. Bahkan yang jelas-jelas berideologi al-haq pun ikhlas dan halal saja bergandeng tangan dengan barisan al-bathil demi meraih kursi kekuasaan. Segala cara ditempuh demi berkuasa. Alasan yang lazim dikemukakan adalah, jika sudah berkuasa maka yang bathil akan pelan-pelan diubah menjadi al-haq. Namun pada kenyataannya, sangat sulit mengubah kebathilan yang sudah karatan puluhan tahun. Salah-salah yang terjadi adalah ke balikannya.
Jika media-media lain mengutip tokoh-tokoh masyarakat, parpol, pejabat negara, dan lainnya, maka eramuslim ingin mengambil sisi lain yang tak kalah penting, bahkan sangat penting karena mereka inilah sesungguhnya stake holder negara dan bangsa ini, yakni suara rakyat bawah.
Bagaimana pandangan mereka soal Pemilu dan Pilpres 2009 mendatang? Inilah komentar mereka yang sama sekali tidak ada motif politis apa pun:
“Pemilu cuma buang-buang duit saja. Indonesia sudah berkali-kali pemilu, tapi kondisi rakyat tidak juga membaik. Rakyat makin susah, Sedangkan para pejabat di atas sana makin mewah hidupnya. Jika demikian buat apa pemilu? Kemarin-kemarin saya dan keluarga masih memilih, tapi untuk tahun depan kayaknya rakyat harus kian kritis dan pandai. Harus bertanya pada diri sendiri, bermanfaatkah ikut pemilu bagi dia dan keluarganya?” (Muhammad Ichsan, buruh pabrik di Cileungsi, Jawa Barat)
“Buat apa sih Pemilu? Dari dulu sampai sekarang nasib kita ya begini-begini saja. Tidak berubah. Tapi ya kalau nanti kampanye ada yang ngasih duit sama kita-kita, ya kita terima saja. Lumayan, zaman kan lagi susah. Tapi kalau untuk nyoblos, he he he, nanti saja deh. Mendingan tidur di rumah.” (Adjie, buruh pabrik di Cileungsi, Jawa Barat)
“Kata bapak-bapak yang di sana, pemilu itu kan bermanfaat bagi kehidupan berdemokrasi. Itu yang saya dengar. Tapi saya juga bingung, kok nasib rakyat kecil kayak kita-kita ini nggak juga membaik yah?” (Supartini, kasir swalayan kecil di Bantargebang)
“Kampanye itu enak, rame. Kita sering ikut, ada uangnya lagi. Lumayanlah. Tapi kalo untuk nyoblos, ya kita sih ikut aja. Mana yang terbaik menurut kitalah. Kalo gak nyoblos juga gak apa-apa. Itu kan hak, bukan kewajiban. Jadi terserah kita.” (Rachmat Murtadho, tukang ojek di Bojongkulur, Bogor)
"Pemilu..? Waduh, saya gak mikirin itu. Gak sempet. Untuk mikiran bisa makan besok, bayar uang sekolah anak saja sudah pusing tujuh keliling. Saya kan orang susah. Pemilu itu kan urusan orang-orang gede. Saya sih berharap rakyat bisa tambah baik kehidupannya, tidak seperti sekarang tambah susah…” (Warmi, ibu rumah tangga di Gunung Puteri, Bogor)
“Kita gak usahlah cerita muluk-muluk soal pemilu. Faktanya rakyat kecil kayak kita-kita ini makin susah. Yang berubah ya orang-orang parpol itu, yang tadinya banyak yang pengangguran sekarang punya kerjaan, kalo kepilih di DPR malah hidupnya jadi kaya raya, mana pensiunan di DPR itu seumur hidup lagi. Ini kan gak adil. Kerja cuma lima tahun, gak punya prestasi, tapi dapet pensiun gede seumur hidup. Saya yang sudah puluhan tahun mengabdi jadi guru, kalo nanti pensiun dapat pensiunannya kecil banget. Ini benar-benar gak adil. Saya malas ikut pemilu. Percuma!” (Sodikin, PNS guru sekolah dasar di Pondok Gede).
“Pemilu itu sangat bermanfaat. Bisa untuk mengubah nasib. Makanya sekarang banyak orang bikin partai, ini bisnis baru yang sangat menjanjikan. Jika berkuasa, atau mampu mendudukkan wakilnya di DPR, ya yang pertama harus dilakukan adalah balikin modal. Yang ikut pilkada juga begitu. Emang semuanya gratis? Kita sebagai rakyat harus kritislah, jangan mau dibohongi lagi. Itu saja.” (Muhammad Endang, tukang koran di Jatibening, Bekasi )
“Hari gini masih mikirin pemilu? Malas ah….” (Susiyanti, lulusan SMA yang mengaku sedang bingung, Pasar Rebo).
Nah, itulah suara rakyat kecil yang didapat. Bagaimana dengan kita? Terserah, karena ikut pemilu itu hak, bukan kewajiban.(rz)