Sosiolog: Banjir Buruh Komunis-Cina, Jangan Salahkan Rakyat Jika Terjadi Chaos

BURUH CINAEramuslim.com – Hari kedua Lebaran Idul Fitri 1437 H tanggal 7 Juli 2016, sebuah pesawat Garuda Indonesia dengan nomer penerbangan GA 604 jurusan Jakarta – Kendari via Makassar membawa rombongan penumpang VVIP Wapres Jusuf Kalla, dan rombongan tenaga kerja asing berkewarganegaraan Tiongkok berjumlah sekitar 50 orang. Mereka sama sekali tak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indoesia.

Ketika transit di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, saat sebagian penumpang turun, rombongan tersebut panik. Karena rombongan yang bertujuan ke Konawe, Sulawesi Tenggara itu mengira, mereka harus membayar lagi untuk bisa sampai ke Konawe. Ketika panik, mereka menyampaikan protes, tetapi pramugari tidak paham yang mereka ucapkan karena dalam bahasa China. Pramugari berusaha menjelaskan kepada mereka dalam bahasa Inggris, tetapi satu pun di antara mereka tidak ada yang paham bahasa Inggris.

Pramugari kemudian berinisiatif menghubungi atasan mereka via SMS. Jawaban dari SMS tersebut kemudian ditunjukkan kepada rombongan. Rombongan tersebut pun akhirnya tenang dan hening.

Di Bandara Halu Oleo Kendari, rombongan tenaga kerja dari Tiongkok tersebut langsung dijemput, dan menurut informasi, mereka langsung dibawa menuju Paku Morosi Kabupaten Konawe, lokasi tempat dibangunnya smelter dan pabrik Feronikel terbesar di Indonesia.

Dalam pesawat GA 604 itu juga ada Dr. Said Didu, Staf Khusus Menteri ESDM. Said Didu menjelaskan bahwa tenaga kerja asal Tiongkok tersebut akan dipekerjakan di Konawe. Karena di sana sedang dibangun smelter dan pabrik Feronikel terbesar di Indonesia – mengalahkan PT Aneka Tambang (Persero).

Informasi tersebut sangat menggembirakan karena ada investor asing yang berinvestasi di darah yang diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Kabupaten Konawe, pada mulanya bernama Kabupan Kendari. Ketika terbentuk Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, dibentuk Kabupaten Konawe yang merujuk kepada nama Kerajaan Tolaki, yaitu kerajaan Konawe yang pernah berdiri di daratan Sulawesi Tenggara. Saat ini Kabupaten Konawe telah mekar menjadi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, dan Kabupaten Konawe Kepulauan.

Empat kabupaten tersebut mengandung banyak sumber daya alam (SDA), bahkan di seluruh daratan Sulawesi Tenggara. Desa Paku, Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe ,dianggap yang cukup memiliki prospek SDA yang besar.

Proses pembangunan beberapa smelter tersebut dikerjakan dengan mendatangkan tenaga kerja yang seluruhnya berasal dari Tiongkok. Begitu pula, seluruh peralatan untuk pembuatan smelter dan pabrik, diimpor dari China.

Kehadiran investor dari Tiongkok itu pada mulanya disambut positif, tetapi dalam perjalanannya dibenci dan dimusuhi rakyat setempat. Pembangunan smelter dan pabrik feronikel tersebut sempat dihentikan selama tiga bulan karena ada protes keras dari rakyat Konawe. Pembangunan smelter dan pabrik Feronikel sama sekali tidak memberi manfaat bagi rakyat setempat.

Pangdam Wirabuana yang berkedudukan di Makassar, sempat turun untuk mengatasi perlawanan rakyat terhadap tenaga kerja impor ini dan sempat beredar kabar bahwa Jenderal TNI Purn. Moeldoko, Mantan Pangab TNI, kemudian ditunjuk menjadi Komisaris Utama perusahaan yang berinvestasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara ini.

Sejak itu, protes rakyat terhenti dan pembangunan smelter dan pabrik feronikel kembali dilaksanakan dengan tidak ada perbaikan sama sekali, yaitu semua tenaga kerja dan peralatan untuk pembangunan smelter dan pabrik feronikel diimpor seluruhnya dari China melalui kapal laut dan langsung sandar di dermaga yang dibangun oleh peruasahaan.  Kompleks proyek pembangunan smelter dan pabrik feronikel tertutup dengan tingkat keamanan yang amat tinggi.

Walikota Kendari, DR. Ir. Asrun, M. Sc mengatakan pembangunan smelter dan pabrik feronikel di Kabupaten Konawe tidak memberi manfaat apa-apa kepada rakyat setempat. Rakyat mendapat manfaat ekonomi dan sosial kalau dilibatkan dalam setiap investasi di daerah mereka untuk bekerja. Dengan bekerja di pabrik yang dibangun, mereka mendapatkan penghasilan (income). Dengan penghasilan yang diperoleh, mereka berbelanja dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Dengan demikian, ekonomi di daerah tumbuh dan berkembang. Dampak positifnya terjadi pertumbuban ekonomi, tercipta pemerataan dan keadilan serta mengurangi pengangguran dan kesenjangan sosial ekonomi.

Jika pemerintah Indonesia masih nekad membiarkan ada impor tenaga kerja asing besar-besaran dengan alasan investasi B to B (business to business, tidak melibatkan pemerintah), jangan salahkan bila nanti ada chaos social yang ditimbulkan oleh kemarahan rakyat.

Sumber: Musni Umar, Sosiolog (rmol)