Menurut Andi, yang paling disayangkan adalah ketika publik mempertanyakan kebijakan impor dan menaruh curiga ada permainan dibalik kebijakan ini adalah hal yang sangat wajar. Betapa tidak, pelbagai klarifikasi dan manuver yang dilakukan oleh menteri pertanian, Amran Sulaeman dalam merespon situasi menimbulkan kekecewaan.
“Pertama, menteri pertanian merespon bahwa kebijakan impor adalah bentuk kecintaan pemerintah terhadap rakyatnya. Bahasa ini menunjukkan ketidak seriusan menteri pertanian mengurus pertanian dan tentu sangat mengecewakan karena impor beras secara psikologis meragukan kemampuan petani kita sebagai “produsen” terdepan. Karena faktanya, justru stok beras menurut petani masih sangat memadai. Ini dibuktikan dengan banyaknya daerah yang menolak Impor beras termasuk Sulawesi Selatan,” jelas Andi.
Kemudian, kedua, menteri pertanian mengatakan bahwa impor beras ini adalah untuk stok kebutuhan industri bukan untuk konsumsi. Padahal dikesempatan lain terlanjur mengatakan bahwa impor 500.000 ton adalah untuk konsumsi selama 7 (tujuh) hari saja. Ini adalah sikap seorang menteri pertanian yang tidak konsisten dan kelihatan sangat miskin data.
Ketiga, upaya klarifikasi yang dilakukan oleh menteri perdagangan dengan “pengawalan” dari BPS dan Bulog adalah bentuk kepanikan yang luar biasa atas respon publik yang mencurigai ada permainan antara importir dengan pemerintah.
“Karena proses impor diawal menteri perdagangan tidak menyebutkan akan melibatkan Bulog. Padahal secara aturan, Buloglah yang sangat relevan atas kebijakan ini. Kehadiran BPS dan Bulog adalah upaya untuk melegitimasi kebijakan yang terlanjur off side,” sebut Andi.
Keempat, impor dengan alasan kekurangan stok beras adalah bentuk ketidakberesan menteri pertanian merapikan produksi Gabah Kering Giling (GKG).