Aktivis Mencium Bau Amis Korupsi di Polemik HGB Laut PIK 2, Tantang Aparat Bertindak

eramuslim.com – Aktivis Tatak Ujiyati turut memberikan perhatian pada kasus Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah laut sekitar PIK 2, yang semakin menuai kontroversi.

Tatak menilai kasus ini sebagai skandal besar yang menunjukkan indikasi pelanggaran hukum dan praktik korupsi.

“Skandal pagar laut ini makin kuat ya bau amis korupsinya,” ungkap Tatak melalui keterangannya di akun X @tatakujiyati pada 20 Januari 2025.

Ia menambahkan bahwa skandal tersebut melibatkan negara, dengan pagar sepanjang 30 kilometer dibangun di wilayah laut dan diberikan status HGB.

“Indikasi kuat,” cetusnya.

Tatak menegaskan bahwa kasus ini jelas merugikan negara dan diduga memberikan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu.

“Ada pelanggaran hukum. Merugikan negara sudah pasti. Menguntungkan pribadi atau orang lain juga terlihat jelas,” imbuhnya.

Selain itu, Tatak mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk segera mengusut pihak-pihak yang terlibat.

“Aparat penegak hukum tinggal cari siapa pelaku dengan melihat HGB atas nama siapa,” tandasnya.

Ia juga memperingatkan bahwa jika kasus sebesar ini diabaikan oleh APH, maka kondisi hukum di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.

“Kalau soalan yang seterang ini APH tutup mata, sudah parah banget sih situasi negara kita,” kuncinya.

Sebelumnya, proses pembongkaran pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di kawasan pesisir Tangerang, Banten, mengungkap fakta mengejutkan. Wilayah laut tempat pagar tersebut berada ternyata telah mendapatkan status HGB, yang diduga berkaitan dengan pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 oleh Agung Sedayu Group.

Berdasarkan data dari situs Bhumi ATR/BPN, ditemukan kavling-kavling dengan sertifikat HGB, meskipun lokasinya berada di tengah laut. Salah satu koordinat yang terdaftar adalah 5.999935°LS dan 106.636838°BT, yang menunjukkan lokasi di wilayah laut, jauh dari daratan atau garis pantai.

Lebih mengejutkan lagi, total luas area yang sudah berstatus HGB mencapai 537,5 hektar atau sekitar 5.375.000 meter persegi, dengan ukuran kavling bervariasi mulai dari 3.458 meter persegi hingga 60.387 meter persegi.

Padahal, wilayah tersebut masih berupa laut, bukan daratan yang seharusnya dapat diberikan status HGB sesuai aturan yang berlaku. Hal ini memicu pertanyaan besar mengenai proses perizinan dan dasar hukum pemberian HGB pada wilayah laut.

Selain itu, proyek ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampaknya pada ekosistem dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.

(Sumber: Fajar)

Beri Komentar