Eramuslim.com – Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah KH. Fathurrahman Kamal mengingatkan para pembelajar tidak larut dalam perdebatan masalah khilafiyah (perbedaan pendapat).
Pernyataan ini dia sampaikan kepada para pembelajar dan pada dai yang tengah menggunakan media sosial, di tengah polemik hukum musik, yang sampai hari ini tidak selesai, bahkan sudah tidak sehat dan mudah ditunggangi kelompok lain.
“Berhati-hatilah para pembelajar agama di jagat virtual, termasuk para da’i dan asatidz. Jangan terjebak lingkaran setan “proxy war” dan larut dalam halusinasi menegakkan hukum syariat, padahal sejatinya sedang menikmati peran sebagai pion bagi kepentingan pihak lain. Tidak ada hubungannya dengan martabat dan kejayaan Islam itu sendiri. Waspadalah!,” demikian tulisnya di akun Instagramnya @fathurrahmankamalofficia.
Sebelumnya, di akun yang sama, ia menjelaskan telah berdiskusi dan mendengarkan penjelasan Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Ustaz Adi Hidayat (UAH) terkait masalah hukum music yang menjadi polemik di masyarakat.
Dalam Pengajian Ramadlan 1445 H yang diselenggatakan PP Muhammadiyah di UMJ, ia mengaku mendengar langsung penjelasan Adi Hidayat dan dinamika dakwah Gen Z di jagad maya.
Secara detail UAH menjelaskan latar belakang sejarah kebudayaan Pra-Islam, terkhusus tradisi para penyair masa jahiliyah yang senantiasa mencari inspirasi di lembah-lembah lalu menuangkannya dalam bentuk syair yang syarat dengan nuansa sensual dan paganisme.
“Saya memahami substansi yang disampaikan UAH tak lebih dari sekedar menjelaskan aspek kesejarahan dan himpitan makna serta praksis dari para penyair & pemusik; termasuk relasi antara syair & music,”ujarnya.
“UAH memaparkan betapa indahnya Islam berinteraksi dengan kebudayaan lain. Selain kritis, tapi juga menawarkan “Islamisasi” kebudayaan berdasarkan Wahyu, bukan opini, apalagi penalaran dangkal-emosional. UAH samasekali tidak bermaksud menamai Surat Asy-Syu’arā’ sebagai surat “para pemusik”. Bahkan beliau sampaikan hal tersebut dengan nada bergurau,” tambah dia.
Menurut alumni Universitas Islam Madinah (UIM) ini, terkait hukum musik, apa yang disampaikannya UAH bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks pandangan para ulama. Baik ulam aklasik maupun ulama kontemporer hal ini adalah taraf khilafiyah.
“Tidak berbeda dengan fatwa hukum musik dalam perspektif Tarjih Muhammadiyah. Intinya persoalan musik bukanlah sesuatu yang bersifat absolut (qath’iyah), namun lebih dalam domain khilafiyah (ijtihādiyah),” ujarnya.
“Mengkategorikannya sebagai ijmak-pun mendapatkan sanggahan dari sebagian ulama otoritatif lainnya. Bahkan pandangan jumhur ulama terhadap suatu persoalan agama tidak otomatis dikatakan sebagai ijmak,” tambahnya.
Menurut Alumnus KMI PP Modern Darussalam Gontor tahun 1993 ini, dirinya telah melihat diskusi hokum musim di media sosial sudah tidak lagi sehat dan jauh dari ukhuwah islamiyah.
Karenanya PP Muhammadiyah telah menyampaikan pesan kepada Adi Hidayat agar tidak perlu merespon apa yang sedang viral di dunia maya tersebut.
“Sebab, nuansa & aksentuasinya bukan lagi kritik ilmiah yang konstruktif dalam ikatan ukhuwah & dakwah, tetapi umumnya merupakan ungkapan-ungkapan emosional- agitatif. Bahkan cenderung mengarah kepada pembunuhan karakter & upaya menghentikan reputasi,” tambahnya.
Ia bahkan mencermati banyaknya narasi dan ungkapan verbal yang bernada stigmatisasi semacam kata-kata; “penebar syubhat”, “pembela bid’ah”, “ghuluw”, “qadariyah”, dan seterusnya.
“Terakhir, ada yang gegabah menyatakan pengkafiran (takfīr), ini lebih bodoh lagi. Serampangan mengkafirkan kaum muslim dalam persoalan khilafiyah/ijtihādiyah merupakan perbuatan durjana dan kriminal akidah yang sangat serius dalam penjelasan Nabi ‘alaihissalam,” ujarnya.
Perlu menjaga hati
Karena itu ia mengingatkan para pembelajar agar selalu memperluas wawasan dan menjaga hati dalam menuntut ilmu.
Ia juga menyarankan pada pembelajar dan para dai sering duduk bersama sambil ngopi dan memperluaskan cakrawala.
“Bagi para pembelajar, dan kaum muslimin monggo sucikan qalbu dan niat dalam menuntut ilmu, perluas wawasan dalam samudera ilmu pengetahuan yang tak bertepi yang menjadi khazanah agama Islam, sering-seringlah ngopi bareng untuk saling meluaskan cakrawala agar tak tertipu dengan jebakan maut dunia maya artifisial,” ujarnya.*
(Hidayatullah)