Sehingga, menurutnya, ketika menyatakan kesetiaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, mestinya TNI/Polri terusik dan berani menyampaikan pendapatnya : “Benarkah konstitusi hasil amandemen UUD 1945 saat ini memiliki nilai-nilai sama dengan UUD 1945 aslinya?”, ucap dia.
TNI mendapatkan amanat undang-undang untuk : (1) menegakkan kedaulatan negara (2) mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (3) melidungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bagsa dan negara. Apabila tugas pokok TNI disandingkan dengan hasil kajian amandemen UUD 1945, dan situasi saat ini, kiranya menjadi klop.
“Artinya, jika terjadi instabilitas yang disebabkan konstitusi, maka TNI memiliki kewajiban berbicara. Berbicara konstitusi bukanlah politik praktis, tetapi masuk ranah politik Negara terkait kedaulatan, keutuhan, dan perlindungan kepada bangsa dan tumpah darah,” tandas Prijanto.
Karenanya, Prijanto mengajak semua pihak melakukan perenungan, memunculkan pertanyaan kritis terhadap kondisi saat ini. Apakah persatuan bangsa lebih baik setelah asing memperkenalkan Pilpres secara langsung? Apa penyebab perpecahan, adu domba, kebencian, ketidakadilan hukum, politik uang, korupsi marak yang semuanya itu berkelanjutan?
Apabila jawabannya akibat amandemen UUD 45, maka keliru jika TNI dan komponen bangsa lainnya melakukan pembiaran. Bukankah itu semua merupakan ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan dan keutuhan serta perlindungan terhadap bangsa dan negara?
“Sesungguhnya, patut kita menduga bahwa Pilpres dan Pilkada langsung adalah konsep asing untuk menghancurkan persatuan Indonesia dengan memanfaatkan kemajemukan SARA. Asing telah mempelajari lama, mengapa Indonesia sejak Orla dan Orba bisa hidup rukun, padahal SARA sangat majemuk? Asing telah menemukan jawabannya, sebagaimana rakyat Indonesia mendengung-dengungkannya. Beberapa Presiden dan tokoh dunia pun memujinya. Apa itu, Pancasila dan UUD 1945 itulah azimat pemersatu bangsa,” tutur Prijanto.
Dalam pandangan dia, hakikatnya asing tak ingin Indonesia besar. Secara konseptual dan segala cara, Indonesia yang sedang bergerak sebagai macan Asia diporakporandakan melalui penciptaan krisis ekonomi, disusul hembusan reformasi. Dibisikkannya di telinga tokoh-tokoh: “Demokrasi anda salah. Tidak ada itu namanya Demokrasi Pancasila”.