Setelah Bung Karno Lahir di Blitar, Makassar di Sulawesi Utara, Surat Tidak Dibaca, lalu Apa Lagi?

jokowi-bengongEramuslim.com – Jokowi dalam sambutannya peringatan Hari Pancasila di Alun-Alun Kota Blitar, Jawa Timur, 1 Juni lalu salah menyebut tempat lahir Soekarno. Dia mengatakan, hatinya bergetar kalau mengingat Blitar karena di kota itulah Bung Karno dilahirkan. Padahal, Bung Karno sendiri dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adam jelas mengatakan bahwa dirinya lahir di Surabaya. Kontan, Joko langsung menjadi bulan-bulanan di media sosial internet.

Sebagai anak buah yang baik, yang menjunjung tinggi harkat dan martabat junjungannya, Tim Komunikasi Publik Presiden Sukardi Rinakit pun kemudian mengakui kesalahan ucap Joko itu bersumber dari kekeliruan dirinya sebagai penyusun pidato presiden. “Kesalahan tersebut sepenuhnya adalah kekeliruan saya dan menjadi tanggung jawab saya,” katanya dalam keterangan persnya, Jumat (5/6).

Menurut salah satu seorang pendiri Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS) itu, ketika Joko sedang menyusun pidato tersebut, beliau bertanya kepada dirinya tentang Blitar. “Saya menjawab, Bung Karno lahir dan disemayamkan di Blitar. Presiden waktu itu meminta saya untuk memeriksa karena seingat beliau, Bung Karno lahir di Surabaya,” tutur Sukardi.

Dilanjutkan Sukardi, tanpa memeriksa lebih mendalam dan saksama, dia pun langsung menginformasikan kepada Joko bahwa Bung Karno lahir di Blitar. Sukardi menyebut salah satu referensi yang menyebut Soekarno lahir di Blitar adalah situs tropenmuseum.nl, yang menyebut Bung Karno lahir di Blitar

Soekarno (ook wel gespeld als Sukarno), geboren als Kusno Sosrodihardjo, Blitar, 6 Juni 1901- Jakarta 21 Juni 1970) was de eerste president van de Republiek Indonesia,” katanya mengutip referensi itu.

Sukardi juga mengaku menggunakan banyak referensi lain yang menyebutkan Soekarno lahir di Blitar. “Selain itu, memori saya dibelenggu oleh cerita rakyat yang sejak kecil saya dengar di kampung bahwa Bung Karno dilahirkan di Blitar,” katanya.

Ia pun meminta maaf kepada publik atas kekeliruan dirinya dalam menyusun pidato peringatan Hari Pancasila sehingga Joko di-bully di media sosial internet.

Namun, sebenarnya, kesalahan fatal yang menandakan lemahnya wawasan juga pernah dilakukan Joko pada November 2014 lalu. Ketika melakukan kunjungan kerja ke Sidrap dan Pinrang, Sulawesi Selatan, Joko dalam akun resmi Facebook Presiden Joko Widodo menulis Makassar (termasuk Sidrap dan Pinrang) berada di Sulawesi Utara.

“Hari ini saya melakukan blusukan ke Sulawesi Utara. Ditemani oleh Ibu Negara Iriana, sekitar pukul 10.00 tadi pagi alhamdulillah saya telah tiba di Makassar dan akan meninjau irigasi serta mengikuti kegiatan panen padi di Sidrap,” begitu tulisan di status Facebook-nya, 5 November lalu.

Lalu, pada April lalu, Joko juga bikin heboh lagi dan mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak lantaran Joko dengan entengnya mengatakan dirinya tidak mencermati usulan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang pemberian fasilitas uang muka bagi pejabat negara untuk pembelian kendaraan perorangan. Terkait hal ini, pakar hukum tata negara yang pernah menjadi penulis naskah pidato Presiden Soeharto, Yusril Ihza Mahendra, lewat akun Twitter-nya mengisahkan bagaimana Soeharto dulu menyikapi surat-surat kenegaraan yang akan beliau tanda tangani.

Menurut Yusril, semua surat yang Presiden Soeharto mau tandatangani dibaca dulu oleh Presiden Kedua Republik Indonesia itu. “Tiap naskah yang mau ditandatangani itu kan ada memorandum Mensesneg, yang menerangkan secara ringkas latar belakang naskah tersebut. Kalau ada hal yang tidak jelas bagi Pak Harto, orang pertama yang ditanya beliau adalah Mensesneg Moerdiono atau Saadillah Mursyid. Bahkan, kadang-kadang Pak Harto langsung tanya saya kalau itu menyangkut pidato atau surat yang akan ditandatangani. Semua naskah yang dikirim ke rumah Pak Harto sore-sore besoknya sudah dikembalikan ke Sekneg via ajudan. Yang mau ditandatangan sudah ditanda tangan. Yang belum ditanda tangan ada catatan atau disposisi Pak Harto yang perlu segera ditindaklanjuti Mensesneg. Dari disposisi itu kita tahu bahwa Pak Harto memang membaca semua naskah yang disampaikan ke beliau sebelum ditandatangani. Bahkan, laporan intelijen yang tiap hari masuk, semua dibaca Pak Harto. Ada coretan-coretan pada laporan itu dan ada pertanyaan serta komentar beliau.

Pidato terakhir Pak Harto tanggal 21 Mei 1998 pun Pak Harto panggil saya ke kamarnya dan bertanya tentang sesuatu sebelum beliau bacakan. Pak Harto sangat teliti, hati-hati, dan tidak segan bertanya. Saya waktu itu disebut Pak Moerdiono ‘anak kecil’. Tapi, Pak Harto tak segan nanya,” tulis Yusril dalam beberapa twit-nya.

Putra bungsu Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, pun ikut berkomentar lewat akun Twitter-nya soal kelakukan Joko itu. “Seharusnya tidak perlu membuat alasan tidak sempat memilah berkas yang akan ditandatangani. Itu sangat memalukan di mata publik,” tulis Tommy.

Menurut dia, jangan main-main dengan berkas yang diajukan ke meja kerja. “Bagaimana kalau ternyata berkas itu adalah pengambilalihan negara atau kekuasaan? Bersyukur hanya masalah DP kendaraan buruh rakyat. Kalau ternyata berkas yang salah tanda tangan itu adalah berkas memerdekakan wilayah, bagaimana? Memimpin lingkup desa saja dituntut teliti, apalagi memimpin negara. Pemimpin negara pantang untuk tidak teliti dalam hal berkas kepres,” kata Tommy.

Pada hari yang sama, sang kakak, Bambang Trihatmodjo, lewat akun Twitter-nya juga ikut berkomentar. “Untuk pertama kalinya pemimpin negara menandatangani dokumen penting tanpa membaca dan mempelajari dahulu. Ini sangat tidak masuk di akal. Alasannya pun sangat tidak mendidik dan tidak pantas dicontoh penyelenggara negara lainnya. Seharusnya hal seperti ini tidak boleh terjadi,” ujar Bambang.

Pada November 2014, Joko juga pernah dikecam banyak orang terkait pernyataannya ketika ditanya tanggapannya atas kematian seorang warga sewaktu demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di depan kampus Universitas Muslimin Indonesia, Makassar. Joko waktu di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (28/11) menjawab, “Itu urusan polisi.”

Lalu, di Twitter pun muncul hastag atau tanda pagar #BukanUrusanSaya, yang sempat menjadi trending topics dunia.

Hastag #BukanUrusanSaya dibuat oleh orang-orang yang kesal dengan respons Jokowi ketika ditanya tanggapannya atas kematian seorang warga sewaktu demonstrasi menetang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di depan kampus Universitas Muslimin Indonesia, Makassar. Jokowi waktu di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (28/11) menjawab, “Itu urusan polisi.”

Yusril Ihza pun menyarankan agar pemerintah mengangkat juru bicara, supaya komunikasi publik pemerintah berjalan lancar. Juru bicara itu, kata Yusril lewat akun Twitter-nya, bisa Menteri Sekretaris Negara, bisa Menteri Komunikasi dan Informatika, agar penjelasan pemerintah satu dan tidak simpang siur. “Setiap selesai sidang kabinet, paripurna, dan sidang maupun terbatas, atau setiap presiden selesai terima tamu penting, harus ada penjelasan ke publik. Ucapan presiden itu adalah ‘sabdo pandito ratu’, ucapan seseorang yang bijaksana, mumpuni, dan dihormati,” ungkap Yusril.

Karena itu, tambah Yusril, presiden harus konsisten dengan ucapannya. “Jangan mencla-mencle. Hari ini ngomong lain, besok lain lagi. Kalau itu terjadi, lama-kelamaan kewibawaan presiden akan terkikis dan akhirnya pupus,” ujar Yusril.(rz/pribuminews)