Sudah setahun lumpur panas Lapindo Brantas meluap di empat wilayah, yaitu Renokenongo, Siring, Jatirejo, dan Kedung Bendo. Sekarang luapan lumpur itu telah menutupi seluruh wilayah di radius 3 kilometer dari semburan lumpur.
Lumpur panas telah menutup beberapa sentra bisnis di sekitarnya dan menyebabkan kerugian sekitar 7, 6 triliun rupiah (data Bappenas).
Demikian Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) kepada wartawan di Kantor WALHI, Jl. Tegal Parang, Jakarta, Kamis (31/5).
Data Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyebutkan terdapat semburan kecil berjumlah 60 titik yang tersebar di wilayah di luar wilayah luapan. Hal ini diduga akibat penutupan lubang semburan dengan bola-bola beton atau disebabkan oleh rekahan tanah di sekitar pusat semburan akibat amblesnya tanah.
"Ini adalah satu tahun yang sia-sia. Seharusnya dengan sumberdaya dan mandat politik yang tersedia dapat digunakan semaksimal mungkin untuk menangani kasus ini, " katanya.
Dari luas wilayah yang terkena dampak luapan dan besarnya kerugian tersebut, belum ada penyelesaian yang berarti baik dari Pemerintah maupun pihak Lapindo Brantas. Rumitnya mekanisme ganti rugi yang diterapkan oleh Lapindo telah membuat masyarakat korban luapan lumpur semakin menderita dan terkatung-katung.
Sementara Siti Maimunah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menyatakan, kondisi di atas sangatlah memalukan sekaligus memprihatinkan, bagi bangsa yang telah mengurus industri minyak dan gasnya selama puluhan tahun.
Penanganan kasus Lapindo sebenarnya mempertontonkan ketidakmampuan negara mengatur pebisnis migas di negeri ini, sekaligus jaminan keselamatan dan produktivitas rakyat.
"Jika pemerintah terus mempertontonkan ketidakmampuannya, maka penduduk yang tinggal di 30 desa di sekitar 49 sumur-sumur migas aktif milik Lapindo di kabupaten Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan harus bersiap menjadi korban berikutnya", imbuhnya. (dina)