Eramuslim.com – Seorang hafiz atau penghapal Alquran Deden M Makhyaruddin mengaku miris usai melihat video yang menayangkan bacaan Alquran dengan langgam Jawa di Istana Negara pada acara peringatan Isra dan Mikraj.
“Memang setelah mendengarkan rekamannya, saya langsung sedih, tak tega mendengar Alquran dibacakan seperti itu. Bahkan terbersit di pikiran saya, seandainya saya hadir, akan saya tinggalkan ruangan meski dianggap melecehkan acara kenegaraan. Itu lebih baik daripada melecehkan Alquran,”kata pengajar pondok pesantren Tahfidz Al Mustaqimiyah, Leuwisadeng, Bogor ini, Senin (18/5).
Deden menegaskan bahwa seharusnya bacaan Alquran tetap mengacu pada aturan tajwid, bukan pada langgam atau nadanya. Jangankan memakai langgam Jawa, ujarnya, memakai langgam Arab (naghm) pun masih banyak qari yang terpaksa merusak tajwid.
“Benar-benar tidak mudah. Dan memang saat saya mendengar rekaman bacaan qari dengan langgam Jawa itu, banyak huruf yang terbaca secaratawallud karena mengejar irama, terlebih qari-nya belum betul-betul profesional. Itu yang menjadikannya haram.”
Ia mengungkapkan bahwa dirinya tetap heran dan tak tega Alquran dibacakan dengan langgam tersebut karena terasa tidak etis.
“Apakah karena langgam itu biasa digunakan untuk lagu-lagu yang kental dengan kefasikan? Atau ada persoalan di adab tilawah? Entahlah. Dalam hati saya, rasanya bukan begitu caranya memperlakukan Alquran.”
Dia pun membandingkannya dengan riwayat tentang desakan Umar bin Khattab kepada Abu Bakar agar mengumpulkan lembaran mushaf Alquran. Saat itu desakan Umar yang logis dan sebenarnya tak bertentangan dengan nilai Islam, tidak begitu saja diterima oleh Abu Bakar.
Bahkan, setelah kemudian Abu Bakar menerimanya, Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim mushaf merasa sangat berat. Demikian pula ketika para tabi’in hendak menambahkan tanda baca, kemudian titik pada huruf-huruf tertentu dalam mushaf Alquran.
Para sahabat larut dalam musyawarah panjang. Alasannya, karena mereka takut menyalahi sunnah.
Mendengar kisah itu, kata Deden, adakah rasa takut yang sama saat panitia Isra dan Mi’raj Istana hendak menampilkan bacaan Alquran dengan langgam Jawa.
“Hal itu hingga merasa perlu memusyawarahkannya terlebih dahulu dengan semua kaum muslimin? Saya tidak melihat itu,”katanya.
Fenomena ini sesungguhnya berasal dari kejahiliahan para pemimpinnya terhadap agamanya sendiri. Ketika orang-orang bahlul dan jahil diserahi amanah yang bukan keahliannya, maka tunggulah kehancuran suatu negeri. Menteri agama sepertinya harus ikut duduk belajar iqro’ lagi biar tidak salah jalan.(rz/ROL)