Eramuslim – Ditetapkannya 22 Desember sebagai Hari Ibu merupakan tanggal digelarnya kongres perempuan pertama pada tanggal 22-25 Desember 1928.
Di Indonesia sendiri, pemetapan Hari Ibu telah dilakukan Presiden Soekarno sejak 1959 sebagai cara agar bangsa Indonesia terus merawat kasadaran kolektif perempuan dan para ibu untuk terus memperjuangkan haknya agar lebih mudah menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan hidup yang semakin beragam.
Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris menjelaskan, Hari Ibu juga dapat jadikan momentum bagi ibu untuk mengingatkan para pengambil kebijakan. Bahwa apapun kebijakan dan kondisi yang terjadi pada bangsa ini, para ibulah yang paling merasakan langsung dampaknya.
Selain momentum kasih sayang anak kepada ibu, makna Hari Ibu sudah saatnya diperluas menjadi momentum bagi negara untuk mendengar keresahan kaum ibu melihat kondisi bangsa, dan mengikat komitmen para pengambil kebijakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut.
“Tantangan ibu zaman now begitu kompleks dan beragam mulai dari harga cabai hingga propaganda LGBT. Para ibu harus memutar otak agar dapur tetap ngebul saat harga kebutuhan pokok seperti daging, telur atau cabai naik atau saat terjadi kelangkaan gas. Belum lagi harus memastikan anak-anak mendapat pendidikan dan kesehatan yang baik hingga memeras otak agar anak-anak terhindar dari pengaruh narkoba, miras, pornografi, sampai propaganda LGBT yang begitu masif menyasar anak-anak. Untuk itu, momentum Hari Ibu harus dimanfaat untuk mendesak negara agar membantu para ibu menghadapi tantangan-tantangan ini,” jelas Fahira di sela memperingati Hari Ibu di Jakarta, Jumat (22/12).