Eramuslim.com – Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memproses hukum dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) disebut menjadi momentum bagi penegak hukum untuk mengusut berbagai kasus Ahok lainnya.
Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR) menyatakan, selama menjabat, setidaknya ada sembilan kasus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok.
“Instruksi Presiden menjadi momentum yang sangat baik bagi penegakan hukum terhadap Ahok, agar masyarakat dan aparat jangan hanya fokus pada kasus dugaan penistaan saja tapi juga kasus-kasus lainnya,” ujar Sugiyanto, ketua umum KATAR di Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Sugiyanto menyebutkan, sembilan kasus dugaan pelanggaran hukum oleh Ahok, yakni pertama soal kasus UPS, Polri telah menetapkan 2 pejabat eksekutif sebagai tersangka.
Pada kasus ini Ahok diduga terlibat karena mengetahui persetujuan tanda tangan sekretaris daerah (sekda) dalam pengadaan UPS.
Kedua, hak angket DPRD karena pelanggaran kebijakan yang dibuat Ahok dengan menyerahkan draf rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) ke Kemendagri yang diduga bukan hasil pembahasan dengan DPRD.
Selain itu, pelanggaran atas etika Basuki yang dianggap tak sesuai dalam kapasitasnya sebagai seorang kepala daerah. Ketika itu muncul juga rekomendasi untuk menindaklanjuti temuan pelanggaran tersebut menjadi Hak Menyatakan Pendapat (HMP), kendati akhirnya gagal karena PDI Perjuangan tidak setuju.
Kasus ketiga, kata Sugiyanto, yakni pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) oleh Ahok, yang berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merugikan keuangan daerah sebesar Rp 173 miliar.
“Saat itu saya dan beberapa masyarakat lainnya sudah melaporkan kepada KPK,” kata Sugiyanto.
Keempat, adalah Ahok diduga telah melanggar Undang-Undang No 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Dan Tanggungjawab Keuangan Negara, yaitu tidak melaksanakan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Bahkan Ahok menantang BPK karena tidak akan membatalkan pembelian.
Dalam kasus ini pada tanggal 29 Oktober 2015, masyarakat juga sudah melaporkan pada aparat kepolisian tapi sampai saat ini belum ada tindaklanjutnya.
Kelima, kasus reklamasi Teluk Jakarta yang izinnya dikeluarkan Ahok. Kasus ini sarat korupsi, bahkan KPK telah menangkap salah satu anggota DPRD karena menerima suap dari pengembang. Ahok dalam kasus ini mengeluarkan kebijakan diskresi, yang diduga menyalahi peraturan perundang undangan.
Keenam, kasus pembelian lahan di Cengkareng, Jakarta Barat, yang berdasarkan temuan BPK adalah aset milik Pemprov DKI Jakarta sendiri.
Dalam kasus ini, Ahok patut diduga bertanggungjawab, karena dialah yang menandatangani APBD yang ketika itu menggunakan APBD Pergub.
Ketujuh, yang harus diungkap adalah kasus dugaan mengalirnya dana Rp 30 miliar dari pengembang kepada Teman Ahok. Diduga untuk kepentingan memenangkan Ahok dalam Pilkada 2017.
Kedelapan, dugaan kasus dana kontribusi tambahan dari pelaksanaan reklamasi Podomoro yang diduga diterima Ahok sebesar Rp. 392.672.527.288 milyar. pemberian dana itu diantaranta sejumlah Rp 6 milyar diduga digunakan untuk menggusur Kalijodo dan Rp 92 milyar untuk kegiatan pembangunan rusun Daan Mogot.
Terakhir, kasus dugaan pencemaran nama baik oleh Ahok terhadap seorang ibu yang menanyakan persoalan KJP. Kasus itu sudah dilaporkan kepada polisi namun tidak ada tindak lanjut.
”Diharapkan semua kasus itu ikut dibuka kembali secara cepat, tegas dan transparan, seperti halnya kasus penistaan agama,” tandas Sugiyanto.(ts/pm)