Eramuslim.com – Ketika media massa ramai-ramai mengangkat berita membanjirnya masalah tenaga kerja asal Cina, terutama di Lebak-Banten dan Papua, Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri mencoba “menangkis” dengan mengirim rilis ke wartawan, yang isinya lebih ke hal-hal normatif, seperti soal regulasi yang mengatur tenaga kerja asing dan jumlah tenaga kerja asing di Indonesia sekarang ini. Bahkan, dalam posisinya sebagai menteri, Hanif tanpa malu-malu menggunakan frasa “kami perkirakan”, yang jelas mengindikasi belum akuratnya informasi yang ia punya.
“Untuk PT Cemindo Gemilang IMTA yang kami terbitkan adalah 17. Untuk PT Cimona, kami terbitkan 432, hanya untuk 6 bulan kerja. Karena 6 bulan, kami perkirakan sebagian sudah pulang. Kenapa? Karena memang mayoritas dari mereka adalah TK untuk tahap konstruksi saja. Ada laporan mengatakan jumlah di lapangan lebih dari itu, maka pengawas naker sedang meneliti keberadaan mereka. Jika tidak sesuai prosedur, Kemnaker pasti mencabut IMTA-nya, lalu Imigrasi mendeportasi mereka,” demikian kata Hanif lewat siaran pers-nya. IMTA adalah kependekan dari Izin Memekerjakan Tenaga Asing dan TK kependekan dari tenaga kerja.
Namun, pada acara buka puasa dengan sejumlah eksponen gerakan buruh se-Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Cilacap, Senin (30/6), Menteri Hanif terkesan datang sebagai pejabat yang sedang sekadar bertamu, bukan untuk bekerja. Buktinya, ia terkejut ketika Ketua DPC Federasi Serikat Pekerja Kimia Industri dan Pertambangan (FSPKIP) Cilacap, Agus Hidayat, mengungkapkan sejumlah pelanggaran menyangkut keberadaan tenaga kerja asing di sejumlah proyek besar di Cilacap.
”Di proyek-proyek besar yang dibangun investor asing di Cilacap, jumlah tenaga kerja asing yang dipekerjakan cukup banyak. Mereka tidak hanya bekerja di tingkat pekerjaan yang sebenarnya diizinkan undang-undang, namun juga banyak yang bekerja di tingkat pekerjaan yang sebenarnya tidak diizinkan undang-undang, seperti kedudukan sebagai mandor,” kata Agus.
Agus juga memaparkan, ada perbedaan gaji yang diterima oleh pekerja asing untuk jabatan yang sama. Pekerja asing menerima gaji yang jauh lebih besar dari pekerja lokal. ”Perbedaannya bisa mencapai 10 kali lipat. Ini menimbulkan pertanyaan di kalangan pekerja lokal, kenapa pekerja asing dengan jabatan yang sama bisa mendapat gaji yang berbeda, jauh dengan pekerja lokal,” ungkap Agus.
Mendengar laporan itu, Menteri Hanif pun langsung memerintahkan staf yang ikut bersamanya untuk mengecek masalah ini. ”Kalau memang laporan itu benar, ini sudah menyalahi aturan. Kami akan cek masalah itu,” tuturnya.
Menurut Agus kepada wartawan, salah satu proyek besar yang dalam pengerjaannya mendatangkan cukup banyak pekerja asing adalah proyek PLTU Bunton II di Desa Bunton Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Di PLTU yang diproyeksikan akan memiliki kapasitas produksi listrik 1 x 700 megawatt dengan nilai investasi sebesar Rp 2,2 triliun tersebut, ungkap Agus, ada sekitar 400 pekerja asing asal Cina yang dilibatkan. Mereka tidak hanya mengisi posisi pekerjaan di tingkat manajer ke atas saja, tapi kebanyakan justru bekerja sebagai pekerja lapangan, seperti sebagai mandor. ”Untuk posisi seperti mandor, pekerja asing tersebut bisa mendapat gaji sampai Rp 30 juta per bulan. Sementara itu, untuk pekerja lokal dengan posisi pekerjaan yang sama, hanya mendapat gaji Rp 3 juta per bulan,” tuturnya.
Mayoritas pekerja asing yang mengerjakan proyek tersebut, tambahnya, adalah pekerja asing asal Cina. Karena, proyek tersebut memang dibangun oleh konsorsium yang melibatkan investor asal Cina. ”Dengan banyaknya pekerja asing yang dilibatkan tersebut, sebenarnya nilai investasi yang ditanamkan di Indonesia sebenarnya jauh lebih sedikit dari nilai investasi yang disebutkan. Soalnya, dana investasi tersebut sebagian besar justru kembali lagi ke negaranya melalui gaji yang diberikan kepada tenaga kerja mereka,” tutur Agus.
Itu baru satu proyek. Sementara itu, ada berapa megaproyek yang pengerjaannya diserahkan ke Cina oleh pemerintah sekarang, Anak-Anak? Coba, ya, dihitung dengan cermat mulai dari pembangunan pelabuhan, bandar udara, pembangunan jalan dan jalan kereta api, sampai pembangkit tenaga listrik.
Ada baiknya juga mengingat kembali apa yang telah diungkapkan Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Kelautan dan Perikanan, Arif Havas Oegroseno pada 22 Mei lalu. Kata Arif Havas, pemerintah wajib mewaspadai rencana pemerintah Cina untuk membangun pelabuhan dan pengembangan kemaritiman melalui strategi China ‘s Maritime Silk Road (MSR). Karena, sebagai raksasa ekonomi baru, bukan tidak mungkin investasi besar-besaran Cina ke sejumlah negara punya misi tertentu.
“Memang belum terjadi di Indonesia, namun pemerintah wajib mewaspadainya. Jangan sampai terjadi seperti di Sri Lanka. Tiongkok membantu pembangunan pelabuhan terbesar di Pulau Kolombo dengan menghabiskan US 1,43 miliar, namun ternyata ada klausul mereka berhak menggunakan sepertiga pelabuhan dan saat ini digunakan untuk pangkalan militer Cina,” kata Arif dalam Lokakarya Forum Komunikasi Kelitbangan dengan tema “Peran Kepemimpinan dalam Kemitraan dan Tindak Lanjut Bandung Message Melalui Kerja Sama Selatan-Selata dan Trianguler” di Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogykarta.
Dari catatan yang Arif punya, Cina sedang getol membangun pertahanan militer laut. Cina bahkan sudah melakukan test run 22 kapal selam mereka di perairah Samudera Hindia, termasuk perairan Indonesia. “Bahkan, data pertumbuhan kepemilikan kapal selam selama 14 tahun terakhir, Tiongkok paling tinggi dengan penambahan 41 kapal selam, sedangkan Amerika Serikat hanya 11 kapal selam, dan Jepang bertambah 8 kapal selam,” ujar Arif.
Fakta itu menunjukan, lanjut Arif, betapa Cina fokus pada pertahanan laut atau mungkin ingin mengendalikan kemaritiman di Samudera Hindia. “Ini yang wajib diwaspadai Indonesia. Sebab, rencana MSR itu ada di perairan Samudera Hindia dan Asia Tenggara, yang perairan Indonesia masuk di dalamnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Arif mengatakan, laporan Kementerian Pertahanan India tahun lalu memperingatkan adanya “ancaman serius” dari Angkatan Laut Cina di Samudera Hindia. Laporan tersebut mengatakan, Cina sedang melebarkan wilayah patrolinya di luar perairan Cina untuk bisa mengontrol jalur-jalur laut yang sangat sensitif.
Dasar Cina bersikap seperti itu, sebagian besar ekonomi Cina yang tumbuh besar digerakkan minyak yang dikirim lewat Samudera Hindia dari Timur Tengah. Sumber-sumber daya dari Afrika dan perdagangan dengan Eropa dilakukan melalui perairan yang sama.
Sejak beberapa tahun lalu, Cina telah membantu membangun jaringan pelabuhan atau fasilitas di negara-negara Asia Selatan, seperti Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan, dan Myanmar. Di sana, Cina mendapatkan hak berlabuh di Seychelles. Cina juga membangun pelabuhan-pelabuhan penting di Kenya dan Tanzania di Afrika Timur.
Apa yang dilakukan Cina pada sektor kemaritiman, baik dari bisnis kemaritiman dan militernya, menunjukan Cina memang ingin mengontrol Samudera Hindia dengan mengontrol perairan di negara Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. “Tiongkok berani menunjukan kapal selam mereka di pelabuhan Pulau Kolombo-Sri Lanka saat PM Jepang justru sedang mengunjungi negara tersebut. Ini bisa diinterpretasikan macam-macam,” kata Arif lagi.
Yang terjadi di Sri Lanka itu, tambahnya, tidak boleh terjadi di Indonesia. Melalui jalur bisnis dan ekonomi tapi kemudian justru sebenarnya sedang menggerogoti kedaulatan suatu negara. “Ini yang menjadi tugas kita bersama dan pemerintah Indonesia bahwa pandangan politik hubungan luar negeri tetap bebas aktif. Jangan sampai semua pengerjaan investasi ditujukan untuk satu negara tanpa melihat maksud sesungguhnya negara tersebut,” ujarnya.
Itu yang bicara pejabat pemerintah sendiri, lo. Meski memang bukan menteri, tampaknya ia paham benar situasi dan kondisi di lapangan serta geopolitik kawasan serta dunia.(rz/pribuminews)