Sekum MUI: Film Bukan Hanya Tontonan, Tapi Juga Tuntunan

Keinginan beberapa sineas muda untuk menghapuskan pasal-pasal yang terkait dengan sensor film dalam UU No.8/1982 tentang perfilman merupakan pemikiran yang sempit dan arogan.

"Itu hanya sebuah arogansi yang lebih berorientasi pada kepentingan sempit, sudah saatnya di negeri ini muncul karya-karya film dari anak bangsa yang berkualitas, " ujar Sekretaris Umum (Sekum) MUI Pusat Ichwan Sam, di Jakarta, Senin(17/3)

Menurutnya, latar belakang munculnya tuntutan itu dinilainya bermula dari kekecewaan sebagian pihak terhadap juri Festival Film Indonesia (FFI), ketika hasil karya mereka tidak dimenangkan.

Ia menjelaskan, sebelum dilangsungkan FFI, film-film garapan sebagian anak muda itu dipromosikan besar-besaran bahkan berlebihan oleh media tertentu, sehingga melambungkan nama mereka. Dan mereka pun menuduh penyebab kekalahan film yang mereka buat, karena banyak disensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Kemudian sineas muda ini mengajukan judicia review kepada Mahkamah Konstitusi menuntut agar LSF dibubarkan.

Secara tegas Ichwan menolak kalau LSF dibubarkan. Sebab, lembaga itu masih sangat dibutuhkan untuk memperbaiki moral bangsa. LSF inilah yang menyaring film-film agar tidak menampilkan gambar yang bersifat sadisme, asosial, melecehkan sendi-sendi kebangsaan, nilai-nilai luhur agama, dll.

“Rupanya mereka lupa kalau film itu tidak hanya tontonan, tapi juga tuntunan. Jadi tidak bisa sembarangan diedarkan kepada masyarakat. Ini demi menjaga moral bangsa, ” tandasnya.

Dalam pandangan Anggota Komisi Agama DPR itu, moral dan nilai-nilai luhur bangsa harganya masih jauh lebih mahal, dari kebebasan yang diinginkan oleh segelintir orang yang belum menyelami karakter bangsa.

”Rupanya mereka lupa kalau masih ada jutaan orang Indonesia yang cara berpikirnya dalam konteks agama, masih hitam putih, ” lanjutnya.

Tuntutan itu sendiri, memberikan dukungan pada kalimat yang diungkapkan penyair Taufik Ismail, sebagai gerakan ”syahwat merdeka” yang dapat mengganggu harmonisasi masyarakat dan akan membawa ke tabir jurang permisif terhadap nilai-nilai moral.

Ichwan mengaku merindukan lahirnya film-film bagus dan sutradara-sutradara besar dari negeri ini. Yaitu, seorang sutradara yang mampu melahirkan karya nyata dalam film bagus, bukan hanya mereka yang suka omong besar tentang dirinya.

Ia mencontohkan film-film berkualitas dari Hollywood, ternyata sutradaranya rendah hati.(novel)