Sekularisme Pendidikan di Mata Buya Hamka

Makalah berjudul “Pengaruh Faham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya” mendapat applause yang sangat meriah dan mengantarkannya memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, yang prestisius.

Menariknya, kesuksesan Buya ini tidak ditempuh melalui bangku akademis, melainkan secara otodidak, seperti yang disampaikan Musfi Yendra dalam buku “Mengenang 100 Tahun Hamka”.

Ini menjadi luar biasa, karena sekalipun tanpa background akademis, tapi  dari tangannya lah lahir sekolah-sekolah Al Azhar yang tersebar di seluruh Indonesia.

Setidaknya ada 4 hal yang dilakukan Buya, yakni ibyda’ binnafsih, kemauan kuat untuk mempelajari tokoh-tokoh besar.

Intelektualitasnya terasah melalui kegemarannya membaca, berdiskusi dan menulis, serta hungannya dengan Allah yang selalu terjaga.

Virus sekularisme yang kini tak terbendung lagi, menjadi keresahan Buya sejak lama. Ia menyoroti hal itu terjadi melalui bangku pendidikan.

Itu pula yang menjadi salah satu alasannya menginisiasi pendirian Yayasan Pendidikan Al Azhar.

Ada upaya-upaya untuk “menetralkan” agama dengan menyasar generasi muda Muslim.

Menunjukkan jati diri sebagai seorang Muslim itu adalah sesuatu yang “terbelakang”, barangkali kalau sekarang dilabel intoleran.

Setelah berhasil, berikutnya mereka menjadi tidak peduli dengan agamanya. Ghirah (kecemburuan) pada agama hilang, mereka tak lagi peduli agamanya diolok-olok dan dinistakan.

Dan puncaknya adalah pemikiran bahwa agama itu tidak perlu.

Sesuatu yang disampaikan Buya sekian puluh tahun lalu terasa masih sangat relevan hari ini. Apalagi ketika dunia pendidikan dipegang oleh orang-orang yang tidak mengerti pendidikan.

Hari ini, 17 Februari, 113 tahun yang lalu, Sang Pembaharu Allah hadirkan ke bumi. Melalui ujung penanya, Buya memantik lentera dan menjadi suluh bagi gelapnya dunia.

Semoga setiap kata yang dituliskan menjadi penerang kuburnya. (RPK)