Sekretaris LP3ES Didik J Rachbini menyatakan, bisnis ladang minyak yang menjadi penyebab inefisiensi keuangan negara, merupakan tempat yang potensial untuk menciptakan KKN baru. Padahal, mekanisme pengawasannya sudah secara tegas diatur dalam UU No.22/2001.
"Kinerja Badan Pengawas migas patut dipertanyakan, baik secara teknis, administrasi maupun manajerial, " ungkapnya dalam jumpa pers di kantor LP3ES Jakarta, Kamis (23/03).
Dirinya mendesak BPK, untuk segera mengaudit BP migas agar dapat melaksanakan tugasnya secara baik. Sehingga cost recovery dapat ditekan dan diawasi secara ketat.
Sementara itu, Koordinator divisi penelitian LP3ES, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, penghematan cost recovery (biaya pengeluaran disektor migas), dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menutup defisit keuangan negara, mengingat sampai saat ini Pemerintah masih menanggung seluruh biaya yang dikeluarkan oleh semua kontraktor bagi hasil yang mengelola eksplorasi minyak di Indonesia.
"Mencermati data yang ada, terutama pada periode 2004 cost recovery semakin membengkak. Padahal produksi minyak dalam negeri terus menurun, " katanya
Menurutnya, membengkaknya cost recovery yang diiringi dengan menurunnya produksi, menjadi indikator awal adanya inefisiensi cost recovery. Hal ini terjadi karena investasi disektor migas banyak digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak produktif. Dan proyek yang tidak produktif tersebut lolos dari pengawasan PT. Migas.
Lebih lanjut ia mengatakan, penghematan 10 persen pada tingkat cost recovery seperti yang dilakukan pada tahun 2004, dapat memberikan suntikan dana bagi pemerintah mencapai 5,2 trilyun rupiah. Dengan penghematan disektor migas, maka anggaran untuk kesejahteraan bagi masyarakat dapat ditingkatkan. (novel/Travel)