Sekolah Pemikiran Islam: Perang Pemikiran Merasuki Dunia Pendidikan

Eramuslim.com – Ghazwul fikri (perang pemikiran) merupakan perubahan strategi musuh Islam untuk menyerang pemikiran yang bertujuan merusak akhlak, menghancurkan pemikiran, melarutkan kepribadian, hingga menumbangkan akidah. Sebab peperangan secara fisik pada masa kejayaan Islam tidak dapat dimenangkan oleh orang-orang kafir.

Pernyataan ini disampaikan Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Akmal Sjafril, saat memberikan materi di Masjid Istiqomah Bandung,  Kamis (31/08/2023).

“Ghazwul fikri atau serangan pemikiran paling sederhana melalui kata-kata. Saat ini tiga modus ghazwul fikri paling masif adalah melalui pendidikan, media massa, dan hiburan,” ucapnya.

Akmal menyampaikan, dunia pendidikan menjadi sasaran empuk sebab dapat diproduksi secara massal, membidik generasi muda, dan adanya relasi kuasa antara guru dan murid sehingga sulit untuk melawan.

Hal itu diamini oleh temuan lapangan yang disampaikan oleh Reflina (26), salah satu peserta Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung yang saat ini membantu mengelola sekolah di wilayahnya. Menurut Reflina atau akrab di sapa Rere, anak-anak SMA di wilayahnya sudah terjerumus dalam sesat berpikir di pertempuran pemikiran ini.

“Contohnya aja ya, ada yang pernah mengeluh bilang ‘Ibu nanti aku udah keluar mau kerja aja terus ah, ngga akan nikah terus ada juga yang ngadu Ibu si ini LGBT dan lain-lain, banyak banget itu pemikiran anak SMA sekarang, udah pada kacau-kacau semua,” ungkap Rere.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh peserta SPI lainnya, yang mengajar di sekolah internasional. Perempuan berusia 26 tahun, sebut saja RS, yang enggan disebutkan namanya, menyampaikan bahwa perang pemikiran di dunia pendidikan sangat terasa, terutama di lingkungan sekolah internasional.

Menurutnya, anak-anak sekolah internasional bergaul dengan berbagai macam orang yang memiliki berbagai macam latar belakang dan pemikiran, sehingga mereka terserang secara masif.

“Informasi yang mereka konsumsi pun lebih banyak dari luar. Buku-buku juga sudah banyak yang dimasuki pemikiran tidak benar, seperti LGBTQ. Sehingga aku pribadi harus benar-benar menyeleksi buku-buku yang akan sekolah beli,” jelas RS yang juga bertanggung jawab di perpustakaan salah satu sekolah internasional di Bandung.

Untuk diketahui, hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Zilenial (Gen-Z) yang merupakan kelahiran 1997-2012 menurut Badan Pusat Statistik (BPS).

Dari total penduduk sebanyak 270,2 juta jiwa, proporsi Gen-Z mencapai 27,94 persen. Tidak heran jika pemerintah menargetkan Indonesia Emas pada 2045 yang diproyeksikan generasi Z menjadi penyumbang tenaga usia produktif.

Pada tahun ini, diperkirakan Gen-Z berusia 11 – 26 tahun yang mana usia tersebut merupakan usia menempuh pendidikan, baik di tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Target Idonesia Emas 2045 dapat dicapai jika Gen-Z pada masa ini ditempa menjadi pribadi unggul. Namun temuan lapangan menunjukkan, perang pemikiran atau ghazwul fikri menjadi tantangan besar bagi para pemuda untuk menggapai target tersebut.

Sesat berpikir dalam perang pemikiran, tidak hanya menyerang usia remaja di sekolah menengah yang dikenal masih labil. Faktanya ghazwul fikri ini juga meracuni pikiran mahasiwa di perguruan tinggi, yang dinilai sudah dewasa dan memiliki kematangan dalam berpikir.

Sakinahaini Rahmi (24), Mahasiswa S2 Manajemen Hayati salah satu universitas negeri di Bandung, mengakui bahwa di lingkungan pendidikan belum ada kesadaran terkait adanya penjajahan pikiran saat ini.

Menurut Aini, sapaan akrabnya, hal yang paling umum terjadi di kampus adalah persoalan LGBT.  “Ada degradasi, dari yang nunjukin identitas LGBT makin banyak banget sekarang. Aku sempat ngobrol langsung waktu itu sama dua orang yang termasuk golongan mereka, yang bahkan udah masuk di ranah komunitas official di kampus yang makin hari makin eksis. Terus ada juga gradasi yang mewajarkan prilaku tersebut sampai menormalisasi,” papar Aini.

Temuan-temuan di lapangan itu menunjukkan, bahwa perang pemikiran ini harus dimenangkan oleh pemikiran yang benar, yakni Islam. Modul yang ditulis oleh Wido Supraha, salah satu pengajar SPI, menyebut bahkan Islam perlu menjadi pemimpin peperangan pemikiran ini.

Hal ini karena tujuan Islam adalah menyebarkan pemikiran. Menurutnya, hadirnya kebangkitan (renaissance) di Timur (Baghdad) dan Barat (Andalusia) sangat mungkin untuk terjadi kembali.

Adapun untuk memenangkan ghazwul fikri, menurut Akmal hanya dapat dimenangkan dengan memperbanyak ilmu. Ia menyampaikan, umat Islam saat ini perlu belajar banyak hal, tidak hanya agama melainkan juga ilmu sains dan berbagai ilmu kekinian lainnya agar tidak mudah dibodohi.

Beri Komentar