Bangsa ini terbukti tak pernah bebas menentukan keputusan soal nasib dirinya sendiri. Setelah Bank Dunia, Asian Development Bank dan Japan Bank For International Cooperation, giliran utusan khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell mengintervensi penyusunan Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUU PM).
Dani Setiwan dari Koalisi Anti Utang (KAU) mengungkapkan, saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (15/3) di Jakarta, Lord Powell mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar segala “ganjalan” investasi di tingkat pusat dan daerah.
"Penanaman modal asing yang diagung-agungkan sebagai penggerak utama ekonomi, malah semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Negeri ini makin bergantung pada kekuatan asing. Saat ini, dominasi modal asing mencapai 70%, " ujar Dani di Jakarta, Jum’at (16/3).
RUU PM ini, terang dia, akan mengganti peraturan lama yang telah berusia 40 tahun lalu, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970), tidak banyak memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional.
Ia menambahkan, Indonesia juga menjadi tempat akumulasi modal spekulatif yang membuat perekonomian negara rapuh. Setidaknya terdapat 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18 ribu per hari. Sepanjang 5 tahun terakhir, pertumbuhan angkatan kerja mencapai 6, 9 juta jiwa lebih, di mana 2, 8 juta tidak tertampung oleh lapangan kerja yang tersedia.
RUU ini memperlakukan pemodal, khususnya modal asing, bak majikan. Mereka akan mendapat persamaan perlakuan dengan pemodal dalam negeri. "Pemodal juga bebas melakukan repatriasi, mendapat berbagai kemudahan pelepasan tanah dan insentif fiskal hingga bebas nasionalisasi. Sedikitpun tidak nampak upaya sungguh-sungguh melakukan koreksi atas pengelolaan kebijakan ekonomi neoliberal selama ini, " jelasnya.
Ironisnya, pemerintah dan DPR yang harusnya mengubah secara mendasar subtansi RUU PM, justru ngotot segera mengesahkan. Mereka, katanya, juga menolak melakukan konsultasi pubik yang dimandatkan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
"Mereka lebih patuh kepada pihak asing, yang secara gamblang disampaikan utusan khusus PM Inggris: mempercepat pengesahan RUU PM. Inggris adalah negara yang memiliki kepentingan sangat besar terhadap penanaman modal di Indonesia. "
Oleh karena itu, Jaringan Masyarakat Tambang (JATAM) dan KAU memprotes keras dan menolak berbagai upaya intervensi yang dilakukan pemerintah Inggris dan pihak asing lainnya untuk mempercepat pengesahan RUU PM. Pemerintah dan DPR harus segera menghentikan pembahasan RUU tersebut dan segera melakukan perubahan sesuai mandat konstitusi negera.
Pada tahun 2005, jelas dia, mereka memiliki sedikitnya 104 proyek di berbagai sektor dengan nilai investasi terbesar kedua di negeri ini setelah Singapura. Dominasi modal asing telah menutup akal sehat pemerintah dan DPR Senayan. (dina)