Sejumlah kejanggalan dari peristiwa meledaknya bom pada 17 Juli lalu di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dibahas beberapa pengamat Islam. Di antara mereka ada Jose Rizal Jurnalis dari Mer-C, Fadhli Zon dari tim sukses Mega Prabowo, dan Muhammad Al-Khaththath dari Forum Umat Islam atau FUI. Diskusi diselenggarakan di Wisma Dharmala Sakti Jakarta, siang tadi.
Menurut Al-Khaththath, sehari setelah peristiwa bom itu, sejumlah ormas Islam bertemu di PP Muhammadiyah. Dari situ mereka dapat informasi bahwa pada saat terjadi peledakan, ada 130 anggota CIA yang bermalam di Hotel Marriott. “Saya yakin, ini bukan hal kebetulan!” ujar sekjen FUI ini.
Sayangnya, tidak ada media yang memberitakan soal keberadaan sejumlah agen intelijen Amerika ini yang secara kebetulan berada di lokasi kejadian.
Khaththath yakin bahwa ada pihak-pihak yang sangat kompeten soal bom dan mereka sama sekali tidak dicurigai. “Bukankah yang sangat mengerti soal bom adalah mereka yang ngerti persenjataan. Dan itu bisa polisi, tentara, atau intelejen.”
Ketua Hizbud Dakwah Islam ini pun menyayangkan beberapa media yang mengikuti arus aparat dengan melakukan tuduhan-tuduhan terhadap aktivis Islam.
Khaththath menambahkan, biasanya sebelum ada bom selalu ada pengkondisian terhadap siapa yang akan menjadi tertuduh. “Saya ingat benar dengan peristiwa bom Bali 2002. Seminggu sebelum kejadian, sejumlah ormas Islam diundang ke mabes Polri. Di sana, mereka mendapatkan pengarahan soal bahaya terorisme. Bahkan, di situ disebut tiga orang berbahaya yang disinyalir sebagai anggota jamaah Islamiyah. Mereka itu adalah Abu Bakar Ba’asir, Hambali, dan Imam Samudra. Dan seminggu kemudian, bom meledak. Dan mereka pun langsung menjadi target perburuan polisi,” papar Al-Khaththath.
Senada dengan Khaththath, Jose Rizal menyorot keanehan lain dalam kasus kamar 1808 di hotel Marriott. ”Bagaimana mungkin seorang pelaku bom begitu ceroboh meninggalkan jejak dengan sejumlah bukti yang begitu jelas. Ada laptop, mur, dan sidik jari,” ujar dokter yang sudah begitu akrab dengan korban bom di beberapa tempat konflik.
Menariknya, pada saat kejadian, di hotel tersebut sedang berlangsung pertemuan para top manejer dari beberapa perusahaan besar yang berbisnis di Indonesia. ”Bagaimana mungkin seorang Nurdin M Top bisa secanggih itu dalam soal informasi?” ucap Jose meyakinkan.
Jose menambahkan, agak aneh kalau pelaku bom bunuh diri dengan menggunakan tas troli di bom, tapi kepala dan tubuhnya terpisah. ”Ini juga kejanggalan. Kalau bom diletakkan di ransel, hal itu mungkin terjadi. Tapi kalau bom di tas troli atau dijinjing, sulit menangkap itu sebagai sebuah kebenaran,” papar ketua presidium Mer-C ini.
Fadhli Zon punya pendapat lain soal keterkaitan peristiwa bom Marriot II dengan pemilu presiden. Terutama soal konfrensi pers SBY beberapa jam setelah terjadinya peledakan.
Menurutnya, agak aneh seorang presiden tiba-tiba bereaksi emosional dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sangat provokatif dan berlebihan. ”Seharusnya seorang kepala negara memberikan pernyataan yang menenangkan. Memberikan jaminan medis untuk para korban misalnya, memberikan jaminan keamanan, dan serius akan menangkap pelaku pengeboman. Bukan justru memberikan pernyataan yang tambah meresahkan,” ujar anggota tim sukses Mega Prabowo ini.
Dan lebih aneh lagi ketika polri justru memberikan pernyataan yang sangat berbeda dengan presiden. Bahwa, pelaku peledakan diduga kuat jaringan Al-Qaidah atau Nurdin M Top. ”Bagaimana mungkin dua institusi negara bisa punya pendapat yang tidak klop,” tambah Fadhli.
Bahkan menurutnya, pemaparan SBY soal data-data intelijen dalam bentuk foto-foto yang sebenarnya foto lama, bisa merupakan pelanggaran terhadap rahasia negara.
Menurut Fadhli, tidak tertutup kemungkinan bom Marriott merupakan bentuk pengalihan isu kecurangan pilpres yang begitu sistematis. Mulai dari kasus DPT, KPU yang tidak netral, hingga adanya keterlibatan lembaga asing dalam soal penghitungan suara. mnh