Sejumlah Anggota DPR Anti Perda Bernuansa Syariat Islam

Sebanyak 56 anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar (F-PG) Fraksi Partai Demokrat (F-PD), Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB), F-PDIP dan F-PDS menolak sejumlah Peraturan Daerah (Perda) bernuansa Syariat Islam (SI). Mereka mempersoalkan Perda yang diterbitkan propinsi Gorontalo No.10 tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat dan Perda lain di beberapa kabupaten atau provinsi yang menerapkan Perda khas Syari’at Islam.

“Kami minta pimpinan DPR menyurati Presiden untuk mencabut Perda-perda tersebut,” ujar Ketua Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS), Constant Ponggawa didampingi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid kepada wartawan usai menyampaikan pernyataan tersebut keapada Wakil Ketua DPR RI Soetardjo Soerjogoeritno di Gedung DPR RI, Selasa (13/6).

Menurut Ponggawa, sekarang ini ada sekitar 22 kota dan kabupaten yag memberlakukan Perda bernuansa SI. Padahal pembentukan perda-perda tersebut harus mendapat persetujuan dari Depdagri. “Seharusnya Depdagri juga proaktif menyikapi perda-perda tersebut,” harap dia.

Sementara itu, Nusron Wahid dari F-PG menilai dalam pembuatan Perda itu harusnya mengacu kepada UU 10/2004, yakni tentang pembentukan perundang-undang yang tidak boleh bertentangan dengan UUD 45.

Menurutnya, setiap asas peraturan selalu mengacu pada UUD 45, dan agama tidak tidak dijadikan sebagai sumber acuan. Atas keberatan itu, wakil ketua DPR RI Soetardjo Soerjogoeritno berjanji akan menindaklanjuti pada pihak terkait.

Di antara anggota DPR yang menolak Perda bernuansa SI, antara lain, Hasto Krsitiyanto (F-PDIP), Muhammad AS. Hikam (F-KB), Max Sopacua (F-PD), Azwir D. Tara (F-PG) dan lain-lain.

Menanggapi keberatan sejumlah anggota dewan itu, anggota Komisi II DPR RI dari F-KB Saifullah Ma’shum menyatakan usulan sejumlah anggota DPR yang menolak penerapan Praturan Daerah (Perda) yang khas Syari’at Islam (SI) karena ada kesalahpahaman terhadap pengertian SI.

Selain itu, katanya, pemahaman soal SI belum merata. "Jadi ada kesalahpahaman, bahwa SI itu sesuatu yang menghantui atau menakutkan," ujar Saifullah Ma’shum.

Ia menjelaskan, pemberlakuan perda-perda bernuansa syariat Islam itu sangat dimungkinkan secara konstitusi. Sebab setiap daerah memiliki karakteristik sendiri, seperti di Aceh atau mungkin saja Yogya dengan model kerajaannya bisa membuat perda bernunasa kejawen.

Menurutnya, agar Perda-perda khas SI diterima, maka sebaiknya sebelum perda-perda diterapkan, dilakukan diskusi publik yang berkomprehensif dan mendalam. Sehingga semua stakeholder itu paham tentang perda dan posisi syariat Islam.

Dengan demikian, maka Perda-perda khas SI itu tidak dipersoalkan lagi. “Intinya kalau disepakati anggota dewan di daerah, Perda tersebut tidak bermasalah,” tegasnya. (dina)