Mall dan pusat perbelanjaan jadi pihak yang paling menikmati barokah dari ramadhan. Di satu sisi,hal ini berdampak positif buat ekonomi ramadhan. Di sisi lain, nilai puasa orang Indonesia dibuntuti oleh sikap berlebih-lebihan (hedonis) yang berlangsung rutin tiap tahun dan mengurangi kehidmatan sisi ibadah spiritualnya.
Puasa seolah jadi ajang balas dendam, dimana di siang hari harus berlapar-lapar dan haus dan sesudah magrib menjadi dendam konsumsi makanan yang ditahan di siang hari. Target peningkatan taqwa dari puasa tersebut ditelikung oleh sikap hedonis dan konsumtif hasil balutan budaya kapitalistik ini.
Tulisan berikut mengajak pembaca untuk berkotemplasi seputar puasa, yang tentunya sesuai ajaran alquran dan sunnah rasul serta sisi riel kehidupan masyarakat kita yang didominasi budaya belanja dan makanan berlebih di bulan ramadhan.
Jasad dan Jiwa
Menurut Imam Al-Ghazali, struktur seorang manusia itu terdiri dari badan (jasad), jiwa (Nafs) dan ruh. Bila diibaratkan sebuah Handphone headset itu badan kita, colokan ke strum listrik adalah ruh dan sim cardnya adalah jiwa. Badan adalah diri yang selama ini kita kenal. Ada wajah, dua kaki,dua tangan dan anggota badan lain pokoknya tampilan menarik badan (jasad) manusia.
Bila seseorang meninggal maka ruh dan jasadnya berpisah. Ruh balik ke Allah sedangkan jasad yang sudah ditinggalkan ruh menjadi jenazah dan harus dikubur serta kembali ke anasir awalnya menjadi tanah dan bersatu dengan tanah. Sedangkan jiwa (nafs) melanjutkan kehidupan panjang sebagai seorang manusia, yang sudah dimulai sejak jiwa masih di alam ruh, alam rahim,alam dunia dan kini jiwa lanjut ke alam barzah.
Terkait perintah Allah dalam surat Albaqoroh ayat 183 : “Wahai orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”