Eramuslim – Sudah bertahun-tahun penulis melihat, puasa ramadhan itu seolah identik dengan makanan berlebih. Awalnya di level keluarga demi menyemangati anaknya yang masih kecil berpuasa setiap Ibu dengan senang hati membuat makanan tambahan diluar makanan sehari-hari.
Aksi para ibu ini secara tak sengaja membuat permintaan makanan meningkat. Permintaan bahan makan yang melonjak luar biasa di bulan ramadhan berdampak pada melonjaknya harga semua bahan pangan.
Penyebab lain dari kenaikan bahan pangan tersebut berhubungan dengan prilaku pedagang kita yang aji mumpung: “Mumpung masyarakat butuh, mumpung permintaan mereka meningkat, dan mumpung bulan puasa”. Akhirnya setiap ramadhan semua barang pangan dari mulai beras, telur ayam, daging sapi, cabe, terigu,gula bahkan sampai jengkol dan lain-lainpun harganya meningkat secara liar. Lonjakan harga makanan ini menyumbang angka inflasi rutin di ramadhan.
Uniknya, di tiap hari-hari ramadhan hampir semua media massa gencar melakukan liputan kuliner. Seolah ramadhan jadi ajang menikmati kuliner setiap daerah di Indonesia. Dalam bentuknya yang bernada kapitalistik, ramadhan dibuat jadi ajang peningkatan konsumsi yang massif lengkap dengan asesoris mall, pusat perbelanjaan dan peningkatan belanja apa saja.