Eramuslim.com – Saat ini DPR RI sedang merancang revisi Undang-Undang KUHP. Salah unsur yang akan dimasukkan di dalam RUU itu adalah perluasan pasal terkait Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT).
Menurut Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM Universitas HAMKA, Maneger Nasution, orang yang terpapar LGBT harus diperlakukan berbeda dengan aktivis yang selama ini turut mengkampanyekan LGBT ini.
“Aktivis yang selama ini melakukan kampanye LGBT harus dipidana dan pidananya mesti diperberat,” sarannya dalam diskusi Daksa Forum di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (26/1) sore.
Bagi mereka yang terpapar LGBT, harus dilakukan pendekatan untuk mengembalikan mereka ke dalam fitrah mereka. Persoalan ini, kata Maneger, harus dijadikan perhatian bersama karena menyangkut peradaban manusia.
Termasuk juga harus menjadi perhatian DPR RI. Menurutnya, jika ada fraksi di DPR yang tidak mendukung hukuman terhadap pegiat LGBT ini maka dapat berpengaruh terhadap suara rakyat pada Pemilu 2019.
“Harapan saya DPR tak ada pilihan lain. Kalau ada DPR yang sembunyi di tempat terang, publik perlu mencatat partai-partai itu dan jangan salahkan jika publik bisa beri penilaian pada 2019,” jelasnya.
Jika semua pihak abai terkait persoalan ini, maka legalisasi pernikahan sejenis bisa saja terjadi di Indonesia. Maneger mencontohkan Brasil. Sejak tahun 1950 hingga 2000-an belum ada negara yang berani menetapkan peraturan terkait perkawinan sejenis. Namun pada tahun 2011 Brasil melegalkan pernikahan sejenis. Salah satu alasannya karena Gereja Katolik tak berdaya menghadapi maraknya kampanye LGBT.
Jika masyarakat mulai permisif dengan LGBT, maka 20 sampai 30 tahun yang akan datang bukan tidak mungkin pernikahan sejenis bisa dilegalkan di Indonesia. Hal ini harus diantisipasi salah satunya dengan revisi UU KUHP.
“20 Sampai 30 tahun yang akan datang kalau masyarakat sudah permisif jangan salahkan nanti DPR kita mengesahkan seperti yang terjadi di Brasil,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Univeristas Al Azhar, Suparji Ahmad menyampaikan, pidana terhadap pelaku LGBT bukan berarti pemerintah bersifat diskriminatif dan tidak toleran. Toleransi harus mengacu pada nilai-nilai ideologis, filosofis, sosiologis dan yuridis sehingga ada justifikasi yang sangat kuat untuk mempidanakan LGBT.
“Hukum berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan sebagai sarana kontrol. Jangan hanya dilihat hukum itu sebagai sarana untuk menghukum saja tetapi justru hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan yang ada di masyarakat,” paparnya.
“Melalui hukum itulah perilaku-perilaku menyimpang itu diharapkan bisa diperbaiki,” tambahnya. (kl/mdk)