Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal (RUU PM) yang akan segera disyahkan oleh DPR di Senayan.
Kalangan LSM tersebut, antara lain, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Sekretariat Bina Desa, Koalisi Anti Utang (KAU), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), DebtWatch, INFID, Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Aliansi Buruh menggugat (ABM), KPA dan Lapera.
Mereka menduga RUU ini akan memperparah dan menambah panjang daftar pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan oleh negara maupun korporasi ke depan.
Radja Siregar dari KAU menilai, RUU PM memberikan peluang industri manufaktur memindahkan modalnya ke luar negeri kapan pun. Industri tersebut di antaranya pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%. "Akibatnya jaminan atas pekerjaan bagi buruh perempuan akan semakin melemah, " ujar dia.
Selain itu, lanjutnya, petani juga akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan oleh RUU ini. Pasalnya RUU ini akan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) sepanjang 80 tahun, hak pakai selama 70 tahun. Selain bertentangan dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, RUU ini lebih buruk dibanding peraturan pada masa kolonial Belanda yang hanya membolehkan pemakaian tanah semacam HGU selama 75 tahun. (dina)