Melalui RUU Penanaman Modal (RUUPM), dapat dipastikan pemodal/investor asing akan mendapat keistimewaan. Alasannya, RUU yang berisi 23 pasal ini, hanya menitikberatkan bagaimana mengundang pemodal sebanyak-banyaknya dan melayani mereka bak majikan.
"Berbagai kemewahan disediakan. Mulai kemudahan berbagai bentuk pajak, pembebasan lahan, bebas memindahkan modalnya kapan dan di manapun, hingga bebas nasionalisasi. Sementara biaya eksternalitas penanaman modal selama ini, di antaranya ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan selama ini, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan RUU PM oleh pemerintah dan DPR RI," ujar Koordinator Humas Jaringan Masyarakat Tambang (JATAM) Siti Maemunah kepada pers di Jakarta, Selasa (19/12).
Tahun 2005 saja, terang dia, jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri mencapai USD 8,55 miliar yang dinvestasikan pada 785 proyek. Selama Januari hingga Oktober 2006, jumlah modal asing bertambah USD 4,48 miliar yang dinvestasikan pada 770 proyek. "Anehnya kondisi ini selalu disampaikan kepada publik sebagai pertumbuhan investasi yang terus merosot. Bahkan untuk menggalang invetasi, setidaknya telah 34 kali kunjungan keluar negeri dilakukan SBY – JK tahun ini," kritik Maemunah.
Oleh karena itu, pihaknya menyesalkan perbaikan investasi dijadikan alasan mempercepat keluarnya RUU PM. Dengan alasan yang sama Bank Dunia juga ikut mendesak RUU ini segera dikeluarkan.
"Hitung-hitungan terhadap manfaat modal, khususnya modal asing selama ini patut dipertanyakan. Apalagi pengurus negara tak pernah menghitung biaya eksternalitas, berupa biaya dan nilai oportunitas sosial dan lingkungan yang dibebankan kepada rakyat di kawasan di mana penanaman modal beroperasi."
Ia mencatat, sejumlah perusahaan asing telah membuat masyarakat sekitar justru resah. Misal, Exxon Mobil di NAD, Laverton Gold di Sumatera Selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimantan timur, Arutmin di Kalimantan Selatan, Aurora Gold di Kalimantan Tengah, PT INCO di Sulawesi Selatan, Expan Tomori di Sulawesi tengah, dan Antam Pomalaa di Sulawesi Tenggara.
Demikian juga Newmont di Sulawesi Utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa Tenggara Timur, juga Newcrest, PT Anggai dan PT Elka Asta Media di Maluku utara, Pertamina di Babelan Bekasi, Lapindo di Sidoarjo hingga Freeport dan Beyond Petroleum (BP) Tangguh di Papua.
Oleh karenanya, JATAM mendesak pemerintah dan DPR RI menghentikan sementara pembahasan RUU PM. Dan selanjutnya, DPR meminta pemerintah mengajukan RUU PM dengan reorientasi baru dan proses pelibatan publik yang mencukupi. Sementara pemerintah harusnya segera melakukan reorientasi penanaman modal di Indonesia. Penanaman modal ke depan tidak boleh lagi mengancam keselamatan, produktivitas rakyat dan lingkungan serta membahayakan ketahanan negara. (dina)