Rancangan Undang Undang (RUU) Kerahasiaan Negara dinilai dapat membelenggu demokrasi dan juga kontraprodukif terhadap pemberantasan korupsi. Karena itu pembahasannya harus dilakukan secara cermat, agar tidak saling bertabrakan dan tumpang tindih dengan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).
Demikian hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Ilmu Pengetahuan dan Estetika Agus Sudibyo dari Koalasi Untuk Kebebasan Memperoleh Informasi di gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa(2/5). Hadir pula angota Komisi I DPR Ali Muchtar Ngabalin (F-BPD) dan Djoko Susilo dari F-PAN.
Dua angota Dewan juga menyatakan hal yang sama, karena dalam draft RUU Kerahasiaan Negara yang masih di tangan pemerintah itu dan belum diserahkan kepada DPR banyak sekali hal-hal yang dinyatakan sebagai rahasia.
Menurut Djoko Susilo, kalau masalah belanja negara juga dimasukkan ke dalam rahasia negara, tentu itu tidak benar. Belanja negara itu bagian dari informasi yang harus diketahui publik. Sebagai contoh pembelian persenjataan TNI, harus diketahui publik, termasuk prosesnya.
“Kita tahu bahwa peralataan persenjataan dan kebutuhan instansi TNI itu sangat besar. Kalau itu dirahasiakan, maka bisa terjadi mark up yang unlimited. Bisa puluhan miliaran rupiah,” katanya.
Ia menjelaskan, masyarakat dan juga penegak hukum tidak bisa mengkontrol besar kerugian negara, jika setiap kewenangan instansi negara menjadi bagian kerahasiaan negara.
Sementara itu, Ali Muchtar Ngabalin, sebelum RUU Kerahasiaan Negara dibahas dan diefektifkan, pemerintah harus terlebih dahulu mengesahkan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP), agar publik tidak terjebak pada resiko pelanggaran RUU Kerahasiaan Negara.
Ia menyatakan, publik adalah pihak yang paling potensial menjadi korban dari UU Kerahasiaan negara ini termasuk parlemen. Karena itu, lanjut dia, pemerintah harus segera membahas RUU KMIP untuk kemudian mengesahkan dan mensosialisasikannya, agar publik kemudian mengetahui apa saja informasi yang boleh didapatkan
Ali menambahkan, kalau UU Kerahasiaan Negara yang disahkan terlebih dahulu, maka UU KMIP menjadi tidak berguna dan itu bisa menyebabkan kemunduran dalam menegakkan demokrasi. “Artinya kita kembali kepada era masa lalu. Itu tidak boleh terjadi,” kata Ali Muchtar Ngabalin.
Sedangkan Agus Sudibyo menilai, RUU KMIP secara konprehensif sudah mengatur prinsip-prinsip keterbukaan dan kerahasiaan informasi, demikian juga dengan UU Pers yang menjamin hak-hak pers atas informasi. Sementara RUU Kerahasiaan Negara berusaha membatasi hak-hak publik atas informasi, atas akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan. “Harus dikonsultasikan dulu kepada publik, kalau tidak UU Kerahasiaan Negara tidak perlu dibahas,” ujar dia.
RUU ini, lanjut dia, dapat merugikan kepentingan yang publik serta perlindungan atas hak-hak politik dan kebebasan berekspresi warga negara, pemberantasan korupsi dan pengungkapan kasus HAM.
Karena itu, sarannya, RUU Kerahasiaan Negara harus dikonsultasikan kepada publik sebelum dibahas secara resmi di DPR. “Harus melewati uji publik untuk memastikan bahwa RUU Kerahasiaan Negara dibutuhkan apa tidak dalam rangka kepentingan nasional dan tidak meimbulkan ancaman serius bagi proses demokrasi,” jelas Ali.
Selain itu, lanjutnya, DPR dan pemerintah harus mempercepat pembahasan RUU KMIP. RUU ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat, terutama soal mendapatkan kebebasan informasi dengan prinsip-prinsip keterbukaan. “Pemerintah tidak perlu apriori dan penuh curiga terhadap RUU KMIP,” tandasnya. (dina)