Eramuslim.com -Lembaga pemeringkat internasional S&P Global Ratings memperkirakan pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan mencapai level Rp 15.000 per dolar, seperti yang sempat terjadi di tahun 2015.
“Untuk rupiah, kami sudah mengestimasi bahwa depresiasi rupiah menuju Rp 15.000 per dolar AS adalah level yang harus diperhatikan,” kata Xavier Jean, Senior Director Corporate Ratings S&P Global Ratings, kepada wartawan dalam konferensi pers hari Selasa (13/3/2018).
Ia mengatakan memang pelemahan itu tidak akan secara langsung berdampak terhadap aliran dana asing, tetapi tekanan akan dirasakan berbagai perusahaan yang operasionalnya terkait dengan valuta asing (valas).
Beberapa langkah, seperti lindung nilai/ hedgedan restrukturasi proaktif terhadap utang berdenominasi valas akan diambil oleh perusahaan saat rupiah sudah menyentuh level tersebut.
Hal itu terjadi karena mereka memandang level Rp 15.000/ dolar sebagai level psikologis. Jika rupiah sudah menembus level tersebut, mereka akan kesulitan meneruskan kegiatan usahanya.
Namun, Xavier mengatakan pihak S&P tidak melihat level tersebut sebagai masalah besar layaknya yang terjadi di tahun 2015 karena kondisi fundamental ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan periode tersebut. Justru, isu yang perlu lebih diperhatikan adalah laju depresiasi.
“Tidak hanya memberi tekanan, tetapi kepercayaan diri para investor juga terdampak dengan depresiasi yang cepat,” katanya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat hari Selasa sejalan dengan mata uang kawasan yang menguat terhadap greenback.
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada di Rp 13.757/ US$ atau terapresiasi 0,08% dibandingkan sehari sebelumnya.
Di pasar spot, dolar AS pada pukul 10.00 WIB diperdagangkan di posisi Rp 13.758/ US$, menguat 0,05% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Hari ini, posisi terkuat rupiah berada di Rp 13.750/ US$ sementara terlemah ada di Rp Rp 13.760/ US$.
Sebelumnya, rupiah sempat melemah hingga Rp 13.800 akibat ekspektasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve, yang lebih cepat dan kekhawatiran akan dampak buruk kebijakan bea impor baja AS.(kl/sw)