Eramuslim – Penguatan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan ketegangan pedagangan global yang meningkat membuat negara-negara berkembang terkena imbas. Ini lantaran para investor mengalihkan uang mereka ke AS.
Langkah bank sentral AS yang tetap ingin menormalkan kebijakan moneter dengan menaikan suku bunga acuan sebanyak dua kali lagi sebelum tutup tahun, membuat kondisi keuangan beberapa negara keteteran.
Negara-negara di Asia menjadi yang paling terpukul akibat aksi jual aset pasar negara berkembang. Nilai mata uang negara-negara Asia tak berdaya melawan dolar AS. Kondisi ini memicu kekhawatiran Asia akan kembali menghadapi krisis keuangan seperti tahun 1997 hingga 1998.
India dan Indonesia menjadi negara Asia yang terkena dampak tersebut. Rupiah Indonesia bahkan merosot 9,2 persen di tahun ini dan mencapai level terendah sejak 1998.
Kondisi ini sedikit lebih baik ketimbang India yang mengalami pelemahan rupee hingga 12 persen terhadap dolar AS di tahun ini.
Saat ini, bank sentral negara-negara Asia Tenggara telah secara agresif melakukan intervensi di pasar valas untuk mempertahankan nilai rupiah. Bahkan, bank telah menghabiskan hampir 10 persen dari cadangan devisanya tahun ini untuk meningkatkan nilai mata uang.
Cadangan Indonesia turun menjadi sekitar 117,9 miliar dolar AS pada bulan Agustus, atau terendah sejak Januari 2017. Namun demikian, cadangan masih cukup untuk membiayai lebih dari enam bulan impor dan membayar utang luar negeri pemerintah.