eramuslim.com – “RIP Demokrasi” menjadi trending topic di aplikasi X, mencerminkan keprihatinan banyak orang terhadap kondisi politik pasca-Pemilu 2024.
Yanuar Nugroho, menyatakan bahwa trendingnya kalimat tersebut adalah hal yang wajar.
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan di Kantor Staf Presiden (KSP) pada Kabinet Kerja (2 April 2015-18 Oktober 2019) itu menyebut, banyak yang merasa berduka karena pemilu tahun ini diwarnai oleh berbagai persoalan.
Dibeberkan Yanuar, di antara persoalan itu, seperti hukum, etika, pelanggaran, dan penyelewengan. Mulai dari tahap pencalonan, kampanye, hingga pencoblosan dan penghitungan suara, terdapat banyak ketimpangan yang dinilai merusak proses demokrasi.
“Demokrasi sedang dibunuh,” ujar Yanuar dalam keterangannya di aplikasi X @yanuarnugroho (15/2/2024).
Diungkapkan Yanuar, adanya ketimpangan pada hasil (sementara) terjadi karena beberapa hal.
“Mitos tentang Jokowi yang tertanam dalam khususnya di kalangan perdesaan dan masyarakat berpendidikan rendah,” lanjut Yanuar.
Selain itu, kata dia, krisis kemampuan berpikir kritis di berbagai lapisan masyarakat hingga mudah dipengaruhi, logika bengkok, dll.
“Ekonomi rente dan korupsi yang mengakar menjerat partai, oligarki, dan ormas-ormas besar,” sebutnya.
Lanjut Yanuar, masyarakat yang tidak bisa melihat jauh melakukan pembiaran atas kecurangan atau penyelewengan seperti politisasi bansos, intervensi kepala daerah atau desa, intimidasi seniman atau jurnalis dan seterusnya.
“Pendidikan gagal mengajarkan etika, moral, integritas, dan kejujuran,” ucapnya.
Menyinggung soal caleg, Yanuar membeberkan, sikap pragmatis caleg atau partai selama tidak diganggu, maka tidak akan menjadi sebuah masalah.
“Akibatnya hasil Pilpres tidak linear dengan hasil pileg. Ini penting terus diangkat agar tidak menjadi pola pemenangan di masa depan,” tukasnya.
Ditekankan Yanuar, ada beberapa yang perlu dilakukan agar hal itu tidak menjadi sebuah budaya yang mengakar.
“Menumbuhkan dan merawat ketokohan publik-politik. figur seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo harus terus dirawat sebagai tokoh untuk jadi pemimpin masa depan,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Yanuar, check-balance yang kalah tak perlu masuk, tetap di luar pemerintahan dan memberikan kritik. Perlu untuk menjaga keseimbangan legislatif.
“Konsolidasi masyarakat sipil untuk membangun blok politik di masyarakat atau publik. Publik harus makin melek politik, memahami perebutan kekuasaan, dan berani mengambil sikap dan tindakan politiknya,” tandasnya.
Dibeberkan Yanuar, itu merupakan bagian dari agenda yang mesti digaungkan jika Indonesia tetap sebagai negara demokrasi.
“Sebuah bangsa akan maju jika dan hanya jika warganya menginginkan dan memilih untuk maju,” cetusnya.
Yanuar pun berharap, hasil pemilu 2024 ini tidak menunjukkan bahwa kebanyakan warga memilih untuk tidak maju.
“Tapi menyadarkan kita bahwa jalan menuju Indonesia maju yang demokratis itu masih panjang,” kuncinya.
(Sumber: Fajar)