Eramuslim.com – Pengamat Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (SIGMA) M Imam Nasef mengatakan bahwa pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah oleh Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bisa memunculkan perlawanan dari daerah. Yakni menolak pencabutan/pembatalan yang dilakukan pusat.
Menurutnya, peraturan daerah bisa dibatalkan dengan tiga alasan mendasar. Pertama, Perda bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, kedua menyangkut bertentangan dengan kepentingan umum dan terakhir bertentangan dengan kesusilaan.
Apabila dalam prosesnya ternyata ada perda yang dibatalkan tidak didasarkan hal tersebut, daerah berpotensi melakukan perlawanan. Yakni melalui jalur konstitusional untuk menganulir keputusan Kemendagri dan atau mengajukan keberatan kepada Mendagri langsung.
Dalam penilaiannya, ribuan perda yang dicabut pemerintah menunjukkan kegagalan Mendagri dalam melakukan fungsi peninjauan eksekutif (executive preview) terhadap perda-perda tertentu.
Padahal, Kemendagri sebagaimana diatur Undang-Undang Pemda, diberi wewenang untuk mengevaluasi raperda yang terkait dengan fiskal daerah. Dari raperda APBD, pajak, retribusi dan lain-lain serta raperda tentang tata ruang sebelum disahkan.
“Kalau dari sejumlah perda itu sekarang dinyatakan bertentangan dengan ketentuan lebih tinggi, lantas mengapa dahulu pada saat dilakukan evaluasi ketika masih dalam bentuk rancangan, perda-perda tersebut diloloskan?” tegasnya.
Di sisi lain, pencabutan perda oleh pemerintah pusat juga mempersempit gerak pemerintah daerah dalam melaksanakan hak-hak otonomi daerah. Sebab penerbitan perda sebagai instrumen penting yang dimiliki daerah diabaikan pemerintah pusat.
Presiden Jokowi diketahui telah membatalkan 3.143 Perda yang dinilai memperlambat proses perizinan dan memperpanjang birokrasi. Pembatalan Perda masih terus dilakukan melalui Kemendagri, sebab secara keseluruhan ada 9.000-an Perda yang disampaikan perlu dievaluasi atau sekitar 6.000an Perda.(ts/akt)