“Ketidaktepatan penyaluran itu merupakan angka yang sangat besar. Seluruh pihak yang terlibat dalam penyaluran BPUM mulai dari pengusul, Kemenkop UKM, dan perbankan penyalur perlu diaudit,” ujarnya.
Ketua DPP Partai Gerindra ini mengatakan bahwa penyaluran BPUM pada 2020 diatur dengan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM (Permenkop UKM) 6/2020. Pasal 4 dan 5 menjelaskan, persyaratan untuk mendapatkan BPUM yakni tidak sedang menerima kredit atau pembiayaan dari perbankan, berstatus WNI, mempunyai NIK, memiliki usaha mikro, dan bukan ASN, TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMD.
Adapun Pasal 6 menjelaskan pihak-pihak yang bisa menjadi pengusul yaitu Dinas Koperasi UMKM Provinsi dan Kabupaten/Kota, Kementerian/Lembaga, Koperasi, Perbankan dan Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah.
Sementara itu saat ini bank yang bertindak sebagai penyalur, di antaranya adalah BRI dan BNI.
“Pada 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran BPUM sebesar Rp 28,8 triliun untuk 12 juta pelaku usaha mikro. Realisasinya pada 2020, BRI menyalurkan Rp 18,64 triliun kepada 7,77 juta pelaku usaha mikro. Sementara BNI menyalurkan Rp 10,04 triliun untuk 4,1 juta penerima,” tandasnya.
Di sisi lain, Kementerian Koperasi dan UKM sudah angkat bicara mengenai temuan BPK tersebut. Kemenkop beralasan, temuan BPK tersebut kemungkinan bersumber dari Laporan Awal Hasil Pemeriksaan BPK atas penyaluran BPUM sekitar bulan Desember 2020.
“Rekomendasi temuan tersebut per Maret 2021 sudah ditindaklanjuti oleh KemenkopUKM dan sudah dilakukan pengujian dapat diterima oleh Tim BPK,” kata Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim.[rmol]