Ribuan Nelayan Tolak Proyek Reklamasi Pantai Jakarta

reklamasi-pulau-utara-jakartaEramuslim.com – Sejak mulai dilayangkan gugatan oleh nelayan tradisional skala kecil dan masyarakat pesisir, muncul klaim bahwa proyek reklamasi diterima 80 persen masyarakat Muara Angke. Namun setelah ditelusuri, ternyata diketahui tidak pernah ada konsultasi publik kepada masyarakat atas proyek reklamasi yang terdampak kepada mereka.

“Bahkan dalam fakta persidangan, tergugat (pengembang reklamasi Jakarta) tidak dapat menunjukkan izin lingkungan yang diwajibkan untuk diumumkan kepada publik,” kata Muhammad Taher dari KNTI Jakarta dalam keterangannya.

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang terdiri dari KNTI Jakarta, KIARA, ICEL, IHCS, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan Jabotabek, WALHI Jakarta dan warga Muara Angke sedianya menggelar ‘Deklarasi 1000 Rakyat Muara Angke Menolak Reklamasi’. Deklarasi telah berlangsung pada Rabu, 2 November 2015, sekitar pukul 13.00 sampai selesai dengan long march Lapangan Sepakbola Muara Angke Menuju Green Bay.

“Ada juga deklarasi tokoh dan masyarakat Muara Angke (menolak reklamasi),” sambung dia seperti dimuat RMOLJakarta.Com.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mempersilakan demonstrasi yang dilakukan oleh sekitar 1.000 nelayan untuk menolak reklamasi Teluk Jakarta.

“Mau demo pembangunan reklamasi ya silakan,” kata Ahok di Balai Kota, kemarin (Rabu, 2/12).

“Itu hak mereka. Tapi, yang membuat konsep reklamasi bukan saya. Itu sudah ada sejak 1995. Ini pasti ada unsur politis,” ujarnya lagi.

Masih kata Ahok, kajian soal reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta sudah dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup sejak 1995. Bahkan, konsep, bentuk pulau, dan payung hukum reklamasi tertuang dalam Keppres 52/1995. Berangkat dari hal tersebut, Ahok menilai keputusannya memberikan izin kepada pengembang untuk memulai reklamasi bukan keinginan pribadi.

“Saya cuma meneruskan aturan yang sudah diberlakukan. Apa sih salahnya?” cetus Ahok.

Gila aja, membangun sekarang tapi pakai amdal tahun 1995 saat Jakarta belum sepadat seperti sekarang. (ts)