Eramuslim.com – Akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat meminta Presiden Joko Widodo mendengarkan suara kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Mereka meminta keputusan politik membangun PLTN harus berbasis pada data, informasi dan kajian yang akurat, tepat, seimbang dan melalui uji publik. “Mengingat dahsyatnya risiko teknologi PLTN tersebut yang akan ditanggung oleh rakyat Indonesia, lintas generasi,” kata Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, Jumat, 12 Juni 2015.
Fabby menjelaskan pihaknya bersama dengan sejumlah akademisi dan aktivis akan mengirim surat ke Presiden Jokowi. Antara lain Dr Nengah Sudja (mantan Sekretaris Komisi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) dan Prof. Dr. Atmonobudi Soebagio, Kepala Pusat Kajian dan Studi Kebijakan dalam Penerapan Energi Terbarukan, Universitas Kristen Indonesia.
Pernyataan Fabby itu terkait dengan ditandatanganinya ‘Buku Putih PLTN’ oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Buku yang disusun Kementrian ESDM dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) itu berisi rencana pembangunan PLTN.
Buku tersebut sudah diberikan kepada Presiden Joko Widodo. “Tinggal tunggu Yes or No dari Bapak Presiden,” kata Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Maritje Hutapea, kepada pers di Jakarta, Jumat, 12 Juni 2015.
Menurut Maritje, Presiden Joko Widodo menjanjikan persetujuan pembangunan PLTN bakal diambil selepas Hari Raya Idul Fitri 2015. Jokowi, katanya, menyatakan kesediaannya memfasilitasi pengembangan nuklir di Tanah Air.
Menurutnya sudah ada investor dari Korea dan Rusia yang berminat mengembangkan teknologi nuklir di Indonesia. Namun, dia belum bisa menjelaskan berapa alokasi dana awal khusus pembangunan PLTN, dari kucuran duit Rp 1,7 triliun untuk pos energi baru dan terbarukan di Kementrian ESDM.
Batan telah mencanangkan pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) atau Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di kompleks Puspiptek Serpong, Banten, pada 2015. PLTN yang mampu menghasilkan listrik 10 megawatt ini diharapkan beroperasi sebelum 2019.
Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto dalam siaran persnya menjelaskan RDE merupakan suatu strategi pemerintah untuk mengenalkan reaktor nuklir yang menghasilkan listrik, sekaligus dapat digunakan untuk eksperimen/riset.
Djarot mengklaim, RDE yang dipilih adalah generasi ke 4 yang memiliki teknologi keselamatan lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya. “RDE merupakan PLTN mini yang dimasa depan dapat diaplikasikan di daerah yang tidak membutuhkan daya besar, terutama di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur,” kata Djarot pada siaran pers dalam laman Batan.
Fabby menilai Buku Putih itu lebih banyak berisi propaganda kelompok-kelompok yang setuju dengan pembangunan PLTN. Dia menyayangkan, karena penyusunannya menggunakan anggaran negara yang berasal dari pajak rakyat.
Dia menyesalkan pernyataan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir dan Menko Bidang Maritim Indroyono Susilo yang mempromosikan dengan menyampaikan info bahwa PLTN itu murah, aman dan bersih.
Menteri Lingkungan Hidup tahun 2001-2004, Nabiel Makarim juga heran dengan gencarnya suara kelompok-kelompok pro-PLTN belakangan ini. “Harus diakui, saat ini lobi nuklir kuat dan tidak takut lagi menghadapi protes masyarakat,” kata Nabiel yang berbicara dalam Dialog Publik: “PLTN Mendesakkah bagi Indonesia?” yang diselenggarakan Thamrin School, IESR dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPPB) di Jakarta, pada 22 Mei 2015.
Nabiel mengingatkan Presiden Jokowi, jika Indonesia jadi mengoperasikan PLTN berarti ketergantungan bahan bakar pada pemasok sangat tinggi. Karena, katanya, Indonesia belum mampu mempersiapkan bahan bakarnya.
Saat ini, pemasok bahan bakar sangat terkonsentrasi atau oligopolistik. Kendali harga berada sepenuhnya di tangan penjual. Pasokan bahan nuklir, katanya, sering dipengaruhi oleh percaturan politik global. Negara-negara yang ingin memproses bahan bakar mendapat gangguan dari negara-negara pemasok. Nabiel mencontohkan Iran.
Fabby mengutip dokumen International Atomic Energy Agency (IAEA) berjudul ‘Milestone in the Development of National Infrastructure for Nuclear Power’. Dokumen ini merupakan panduan dasar dari Badan Tenaga Nuklir Internasional (IAEA) bagi setiap negara yang akan mengembangkan PLTN.
Salah satunya adalah posisi nasional dimana disebutkan, “A government should adopt a clear statement of intent to develop nuclear power programme and communicate that intent locally, regionally, nationally and internationally.”
Menurut Fabby, selama ini belum ada pernyataan yang jelas dari Presiden Indonesia untuk membangun PLTN, termasuk kesepakatan dalam sidang kabinet sejak 1998 hingga sekarang. Selama ini Batan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 sebagai acuan berkampanye dan mendorong pembangunan PLTN.
Fabby menjelaskan proses masuknya rencana PLTN dalam RPJP itu tidak dapat disebut sebagai konsensus nasional karena tidak melibatkan partisipasi publik yang utuh dan transparan. “Program itu masuk melalui pintu belakang yang tidak melewati pengawasan publik,” katanya.(rz/tempo.co)