Rezim Pemalas, Kurang Uang Selalu Rakyat Yang Dipalak Atas Nama Pajak

jokowi5Eramuslim.com – Indonesia adalah negeri yang diberkahi Allah Swt dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah, letak geografis yang sangat strategis, sumber daya manusia yang hebat, cuaca yang teramat bersahabat, dan banyak lagi keuntungan-keuntungan lainnya. Jika melihat semua kekayaan itu, tak elok kiranya jika pemerintah terus menerus merampok uang rakyatnya atas nama pajak demi mempertahankan roda pemerintahannya.  Tapi inilah faktanya, rezim demi rezim berganti, dan selalu saja diisi oleh manusia-manusia korup dan serakah. Sehingga di negeri yang kaya raya ini, rakyatnya sangat banyak hidup dalam kemiskinan, sedangkan pejabatnya–yang menjadi pelayan-pelayan Aseng dan Asing–hidup dalam gelimang harta dunia. Gilanya, pemuka-pemuka dan orang-orang yang disebut sebagai tokoh agama, malah banyak yang menjual agamanya dan umatnya demi bisa hidup kaya raya dan sejahtera. Inilah Indonesia.

Di bawah rezim Jokowi yang belum genap setahu utang luar negeri terus ditumpuk dan entah untuk apa. Rezim ini selalu berteriak kekurangan uang, selalu lapar dengan uang, sehingga utang yang menggunung dianggap tidak cukup dan lagi-lagi rakyat yang harus dikorbankan.

Tahun ini, pemerintah masih mengejar target penerimaan pajak. Kali ini, pemerintah kembali memperluas penerimaan pajak dari pajak penghasilan (PPh).

Pertama,  ialah memperluas daftar jenis usaha yang bergerak di sektor jasa yang dapat dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 (jasa). Perluasan ini diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 ayat 1 huruf C Angka 2 Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU nomor 36 tahun 2008.

Dalam beleid yang berlaku mulai 27 Juli 2015 ini, pemerintah mendaftar lebih dari 60 jenis usaha jasa (belum termasuk rinciannya) dalam daftar jenis usaha yang imbalannya dipungut PPh 2% dari jumlah imbalan bruto.

Jenis usaha yang kini terkena aturan ini ialah jasa hukum, jasa arsitektur, dan jasa perencanaan kota arsitektur landscape, jasa pemeliharaan tanaman, jasa pemanenan, jasa dekorasi, jasa percetakan atau penerbitan, dan jasa penyelidikan dan keamanan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Mekar Satria Utama menjelaskan, aturan ini merupakan penjelasan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam UU itu disebutkan beberapa jenis jasa yang dipungut PPh 2%, yaitu jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa selain jasa yang dipungut PPh Pasal 21.

Menurut Mekar, penerbitan PMK 141/2015 ini juga bertujuan untuk menegaskan jenis usaha apa saja yang dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2%. Dengan beleid ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan lebih mudah dalam memungut pajak maupun menyelesaikan sengketa bila ada wajib pajak yang mengajukan keberatan hingga upaya banding. “Sebab, selama ini banyak terjadi perdebatan di lapangan mengenai jenis usaha apa saja yang dikenai PPh Pasal 23 sebesar 2%,” katanya, Selasa (4/8).

Dalam beleid ini, Kementerian Keuangan (Kemkeu) juga menambah beberapa jenis usaha yang dikenakan PPh pasal 23. Bahkan Ditjen Pajak mengusulkan 100 jenis usaha yang dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2%. Usulan tersebut tidak hanya disuarakan pejabat Ditjen Pajak, juga oleh petugas pajak di lapangan.

Perluasan jenis usaha yang dikenakan PPh Pasal 23 ini, kata  Mekar, akan menambah penerimaan pajak secara signifikan, khususnya penerimaan PPh. Sayangnya, Mekar enggan merinci berapa target tambahan penerimaan pajak yang bisa diraup dari upaya perluasan pajak ini.

Catatan saja, per akhir Mei 2015 total penerimaan pajak mencapai Rp 377,03 triliun, turun 2,44% dari periode yang sama 2014.Bebas PPN ditambah

Di tengah seretnya penerimaan, pemerintah justru memperluas jenis barang kena pajak yang bebas bea masuk sehingga tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Kebijakan tersebut tertuang dalam PMK Nomor 142/PMK.010/2015 yang juga telah berlaku sejak 27 Juli 2015 lalu.

Adapun beberapa jenis barang yang ditambah dalam daftar ini, pertama, barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekspor. Kedua,  dan barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian, kemudian diimpor kembali.

Ketiga, obat-obatan yang diimpor anggaran pemerintah yang kepentingan masyarakat; dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat (lihat tabel).

Menurut Mekar, perluasan jenis barang ini tidak semakin menurunkan penerimaan PPN dan PPnBM. Sebab, selama ini pemerintah tidak memperhitungkan barang-barang tersebut sebagai potensi penerimaan. “Justru ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang bahwa jenis barang impor terkait kenegaraan dan kepentingan sosial tidak dipungut pajak,” tambah Mekar.

Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, kebijakan perluasan PPh pasal 2% menyebabkan pemungut PPh pasal 23 ikut bertambah luas. Kata Prastowo, perluasan pungutan pajak final oleh suatu badan memang bisa menjadi alternatif kebijakan bagi pemerintah untuk menambah penerimaan di tengah rendahnya kepatuhan masyarakat. Meskipun begitu, kebijakan ini tergantung  pengawasan di lapangan.

Selain itu menurut Prastowo, penambahan jenis barang impor bebas bea masuk yang tidak dipungut PPN dan PPnBM akan mengurangi penerimaan pajak dari dua pos itu. Namun ia setuju bahwa tambahan jenis barang itu merupakan amanat Undang-Undang PPN.(rz/sumber kontan)