Eramuslim.com – Langkah pemerintah yang ingin merevisi PP No 99 tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan terus mendapat kecaman dari pegiat antikorupsi.
Alasannya, dalam draf revisi tersebut, syarat justice collaborator dalam pengajuan remisi bakal dihapuskan. Hilangnya syarat tersebut, dikhawatirkan akan membuka keran obral remisi bagi koruptor.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menuturkan, rencana revisi PP 99/2012 tersebut sangat mendadak. Setelah satu bulan dilakukan pembahasan secara tertutup, draf revisi tersebut baru bisa diakses publik.
“Isinya cukup mengagetkan karena menghilangkan syarat justice collaborator dalam pemberian remisi,” katanya dalam diskusi di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta, kemarin.
Pihaknya mencatat, sejak 2015 lalu pemerintah terus berusaha merevisi PP 99/2012, khususnya terkait pemberian remisi kepada napi kejahatan extraordinary crime seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
Pemerintah berupaya menghapuskan syarat justice collaborator dalam revisi tersebut. Padahal peran dan fungsi justice collaborator sudah diakui dalam sejumlah peraturan perundang undangan, mulai dari UU Perlindungan Saksi dan Korban hingga sejumlah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
“Meski demikian pemerintah terus mengeluarkan alasan yang tidak relevan dalam merevisi PP tersebut,” ujar Lola.
Mulai dari masalah kelebihan kapasitas hingga maraknya kerusuhan di di lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan pemantauan ICW, jumlah napi korupsi hanya 8.500an. Namun urusan remisi untuk napi tersebut selalu menjadi fokus perhatian pemerintah.
ICW juga menolak wacana revisi PP yang akan mengakomodir peran jaksa, polisi, dan KPK dalam pemberian remisi lewat tim pengamat pemasyarakatan. Tim ini bertugas memberikan rekomendasi kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam pemberian remisi.
“Inilah yang namanya nambah-nambahin kerjaan, seolah pemberian remisi sudah dilakukan dengan berkoordinasi dengan penegak hukum,” katanya.
Lola berharap pemerintah tidak buru-buru mengesahkan revisi PP 99/2012. Menurutnya, perlu ada pengetatan pemberian remisi terhadap napi koruptor, demikian juga dalam hal pemberian hak atas asimilasi dan pembebasan bersyarat.
“Kita khawatir PP yang baru nanti akan disalahgunakan untuk mengobral remisi bagi para koruptor,” tandasnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebutkan, lapas yang kelebihan kapasitas dan pemberian remisi tidak bisa menjadi alasan untuk merevisi PP 99/2012.
“Jawaban atas masalah over kapasitas lapas adalah tekan tindak kejahatan itu menjadi sekecil-kecilnya dan lapas tidak akan penuh, atau bangun lapas baru,” katanya.
Mengenai pemberian remisi yang dinilai sebagian pihak diskriminatif terhadap napi korupsi, Fickar mengingatkan, Indonesia telah menyatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. “Kejahatan luar biasa ini perlu penanganan khusus dari hulu ke hilir, makanya dibuat Undangn-Undang KPK, Undangn-Undang Tipikor, Undangn-Undang PPATK, dan Undangn-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,” paparnya.
Fickar menambahkan, tidak benar jika PP 99/2012 bertentangan dengan UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Apalagi PP tersebut pernah di judicial review ke Mahkamah Agung dan dinyatakan tidak bertentangan dengan undang undang.
“Mengubah PP 99/2015 sama halnya dengan mengubah komitmen pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi. Jika itu terjadi maka rezim saat ini bakal lebih toleran pada koruptor,” tandasnya.
Anggota biro hukum KPK, Rasamala Aritonang mengklarifikasi surat pimpinan KPK yang ditandatangani Abraham Samad soal dukungan terhadap revisi PP 99/2012 khususnya soal status justice collaborator dalam hal pemberian remisi.
“Waktu itu muncul permintaan lapas ke KPK mengenai keterangan apakah napi yang mengajukan permintaan remisi adalah justice collaborator dan sudah membayar uang pengganti, dalam surat tersebut juga sudah ditegaskan bahwa yang sudah terpidana tidak bisa menjadi justice collaborator,” terangnya.
Dia menekankan, setiap KPK menetapkan seseorang menjadi justice collaborator, informasinya selalu ditembuskan ke Kementerian Hukum dan HAM dan lapas. Dia mengatakan, yang menjadi persoalan adalah jika remisi diberikan lebih dari sekali.
“Inilah yang menjadi persoalan administrasi, belakangan ada Permenkumham (peraturan Menteri Hukum dan HAM) soal jangka waktu 12 hari tidak direspons maka aparat hukum dianggap sudah menyetujui pemberian remisi tersebut,” katanya.(ts/rmol)
Selamat kepada para koruptor, di bawah rezim ini kalian bisa menghirup kemerdekaan yang lebih banyak. Tinggal kepada rakyat, apakah mau terus dibodohi badut-badut penguasa seperti ini atau kita segera tumbangkan dan hancurkan. Nasib bangsa ini terletak di tangan rakyat.