Rakyat Sudah Makmur Semua, Harga Beras di Indonesia Paling Mahal di Dunia

jenderal-jokowi-1
Di bawah kepeimpinan Paduka Yang Mulia Jokowi, Rakyat Indonesia sudah makmur sehingga harga beras paling mahal sedunia pun tidak jadi masalah…

Eramuslim.com – Harga beras di Indonesia mencapai dua kali lipat dari harga beras di sejumlah negara produsen beras di dunia, seperti Thailand, Vietnam, dan India. Rata-rata harga beras medium di Tanah Air saat ini mencapai Rp 12 ribu per kilogram (kg), sedangkan harga di sejumlah negara produsen di dunia berkisar Rp 6.000-7.000 per kg. Hal itu terjadi karena tidak efisiennya sistem produksi, rantai distribusi, dan proses penggilingan padi di Indonesia.

Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin bahkan menyatakan, harga beras di Indonesia tergolong termahal di dunia. Hal inilah yang membuat negara-negara produsen beras ramai-ramai ingin memasukkan beras ke Indonesia. “Beras Indonesia itu termahal meskipun produksi gabah cukup tinggi. Kenapa mahal? Itu karena ketidakefisienan produksi, tata niaga, dan proses penggilingan. Saat ini, harga beras medium di dalam negeri Rp 12 ribu per kg, memang turun tapi masih Rp 9-11 ribu per kg, di pasar internasional jauh di bawah itu,” kata Bustanul ketika dikonfirmasi Investor Daily dari Jakarta, Selasa (23/2).
Rata-rata harga beras premium di Indonesia saat ini mencapai Rp 12 ribu per kg dan beras medium minimal Rp 10 ribu per kg. Sedangkan di negara-negara produsen beras lainnya, seperti Thailand, Vietnam, dan India masih berkisar US$ 350-400 per ton yang jika dikirim ke Indonesia ditambah ongkos kirim dan ongkos angkut masih berkisar Rp 6.000-7.000 per kg.
Menurut Bustanul, dengan skema subsidi pupuk dan benih malah harga beras menjadi lebih parah (tingginya). Setiap tahun, Indonesia hampir menggelontorkan subsidi pupuk Rp 40 triliun, subsidi benih Rp 1 triliun, dan subsidi yang belum terealisasi seperti traktor. Artinya, apabila tanpa subsidi, harga beras di Indonesia bisa lebih mahal dari saat ini. “Ini karena sistem produksi yang tidak efisien. Itu belum memperhitungkan pungutan-pungutan atau biaya ekonomi tinggi. Bayangkan, bagaimana mau efisien apabila petani di Indonesia kecil-kecil garapannya. Memang literatur akademik ada yang menyebutkan bahwa petani kecil-kecil lebih efisien, tapi faktanya harga beras di Indonesia saat ini yang termahal,” jelas dia.
Dia juga mengatakan, rantai nilai atau tata niaga yang terlalu panjang juga menjadi penyebab mahalnya harga beras di Indonesia. Hal ini tercermin dari produksi gabah yang melimpah namun harga beras di tingkat konsumen sangat mahal. “Kalau kata Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu karena adanya kartel. Kami dukung KPPU yang menginvestigasi soal ini (kartel beras) kalau memang ada indikasi pelanggaran hukum, bak kartel atau monopoli, hukum saja. Ke depan, sudah seharusnya dibuat kontrak yang memuat tentang jaminan sehingga tidak ada persaiangan tidak sehat, tidak ada aksi curi-curi atau geng-gengan,” ungkap dia.
Menurut Bustanul, saat ini proses penggilingan pun tidak efisien karena banyaknya unit penggilingan namun kinerjanya tidak maksimal. Di seluruh Indonesia saat ini terdapat 182.200 unit penggiliangan yang mana 1% di antaranya adalah penggilingan besar dan sisanya penggilingan medium dan kecil termasuk penggilingan portabel. “Bagaimana mau diadu kompetensinya apabila jumlahnya mencapai 182.200 unit dan itupun banyak yang mau mati. Solusinya, penggilingan skala kecil yang masih mau hidup harus diselamatkan, ini butuh konsolidasi atau upaya khusus pemerintah pusat dan daerah. Ini harus kalau Indonesia tak mau ketinggalan, ini memang mahal tapi ini bisa menghindari ribut-ribut, terutama saat ada beras impor,” kata dia.
Dalam seminar nasional bertajuk Desain Kebijakan Perberasan Dalam Rangka Mendorong Peningkatan Produksi Padi, Daya Saing Usaha Tani Padi dan Kesejahteran Petani di Yogyakarta, Selasa (23/2), seperti dilansir Antara, Bustanul mengatakan, dengan harga beras yang mahal tersebut akan sangat sulit bagi Indonesia untuk bisa menolak beras impor. “Mereka yang lebih murah akan mengalir ke tempat yang lebih mahal. Pasar kita menarik bagi mereka,” kata Bustanul.
Bustanul menduga masih tingginya harga beras di Indonesia, selain disebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi juga kemungkinan dipicu adanya kebocoran subsidi pupuk maupun benih. Subsidi pupuk yang dicanangkan pemerintah pada 2015 telah dianggarkan Rp 39,5 triliun, namun kenyataannya di lapangan harga pupuk bersubsidi masih mahal Rp 2.200 per kg, padahal seharusnya bisa mencapai Rp 1.950 per kg. “Untuk benih juga disubsidi di atas Rp1 triliun, ternyata mencari benih sampai sekarang masih susah,” kata dia.
Karena itu, Bustanul berharap agar pemerintah dapat mengevaluasi kembali upaya peningkatan produktivitas beras sehingga Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa tidak hanya menjadi pasar menarik bagi negara-negara produsen beras lainnya. “Saya tidak rela Indonesia yang sebesar ini cuma dijadikan pasar. Kita harus mampu memproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri kalau bisa kita ekspor,” kata dia.
Kepala Sub-Bidang Irigasi dan Rawa Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Wasito Hadi mengatakan, tingginya harga beras di Indonesia antara lain disebabkan beras yang beredar kebanyakan adalah beras premium. Sementara untuk memproduksi beras medium susah dilakukan karena mutu gabah beras petani rendah akibat dampak El Nino. “Beras medium yang dicari Perum Bulog minimal kadar airnya 25%, sementara karena dampak El Nino kadar airnya menjadi di bawah 20% sehingga harus digiling menjadi beras premium,” kata dia.
Selain itu, lanjut Wasito, tingginya harga beras juga disebabkan faktor skala usaha tani yang masih rendah dengan rata-rata luas lahan 0,2-0,3 hektare (ha). Padahal seharusnya luas lahan pertanian idealnya minimal 2 ha yang paling tidak dapat digarap secara berkelompok. Di samping itu, kebanyakan masih menggunakan cara tradisional dan belum menerapkan penggunaan teknologi pertanian. Mengacu hasil analisis Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 48% ongkos produksi di Indonesia dihabiskan untuk biaya tenaga kerja. “Kalau saja dengan sistem mekanisasi dengan skala usaha minimal 2 ha dengan digarap secara berkelompok mungkin akan lebih efisien,” kata dia.(ts/pm)