Di samping itu ia mengatakan sertifikat yang diberikan pemerintah kepada masyarakat tidak bisa dijadikan pengganti test telusur virus Corona. Karena menurutnya walaupun sudah dilakukan vaksinasi kemungkinan terinfeksi tetap ada.
“Mekanisme skrining dalam perjalanan ini tetap diberlakukan sebagaimana standar umum, tetap dilakukan PCR sebenarnya meskipun pada perjalanan domestik,” pungkasnya.
Lebih lanjut Dicky mengatakan penggunaan metode telusur yang disarankan oleh badan kesehatan dunia WHO adalah teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Maka, ia tidak menyarankan GeNose, Rapid Test Antigen dan test Saliva tidak digunakan sebagai metode telusur yang menggantikan PCR.
“Jangankan GeNose, Rapid antigen saja WHO belum menganjurkan. Apalagi test lain, test saliva pun belum yah,” kata Dicky.
Namun ia menyarankan vaksinasi bisa menjadi informasi tambahan untuk meniadakan karantina jika hasil test menunjukkan reaksi negatif. Tetapi dengan catatan masih dalam durasi tiga hingga enam bulan pasca penyuntikan vaksin.
“Jadi bahwa sertifikasi vaksin bisa menjadi informasi tambahan itu lebih tepat digunakan untuk meniadakan karantina, kalau dia PCR nya negatif,” kata Dicky.
“Tapi kalau dia bergejala itu yang harus tetap diisolasi,” tambahnya.
Dicky berharap dengan adanya ancaman penyebaran strain B117 dapat mendorong pemerintah untuk menggiatkan program vaksinasi nasional dan pengetatan protokol kesehatan di masyarakat.[cnnindonesia]