Eramuslim.com – Presiden Jokowi mendapat kritik keras dari Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Sri Edi Swasono yang menyebut sektor perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk. Bisakah pariwisata menjadi jawaban atas keterpurukan ekonomi dewasa ini?
Sri Edi menegaskan bahwa saat ini perekonomian Indonesia sudah sangat rusak, semua sektor dikuasai pihak asing. Bahkan sampai buruh buta huruf dari China (Tiongkok) diberi izin masuk ke Indonesia. Seperti dikabarkan, tenaga kerja kasar asal Cina sudah mulai datang bergelombang ke Bayah, Pandeglang, Banten. Buruh asal Cina itu dipekerjakan untuk membangun pabrik Semen Merah Putih di Bayah, Lebak.
“Menteri-menteri ekonomi plonga-plongo, buka lapangan kerja kagak bisa. Sampai-sampai kita tetap jadi bangsa kuli. Jadi TKI dengan resiko dipotong leher dan disiksa majikan,” tegas Sri Edi.
Dalam Rapat Kerja Kabinet Paripurna, 9 September 2016 di Istana Negara, Jakarta, Jokowi membahas hasil kunker dan kaitannya dengan perekonomian nasional saat ini. Jokowi betul-betul berpikir dengan cara korporasi, mengelola negeri ini sebagaimana manajemen parusahaan yang serba solid, cepat, dan cerdas.
Jokowi menceritakan bahwa persaingan global, antarnegara saat ini sangat sengit dan terlihat semakin nyata. Semua negara berlomba-lomba merebut pasar investasi dan modal ke negaranya masing-masing. Ibarat perusahaan, masing-masing negara mempresentasikan portofolio bisnisnya agar diminati investor.
Para kepala pemerintahan, baik di G-20 maupun ASEAN Summit, sangat kelihatan betapa sekarang ini bersaing antarnegara sangat sengit. Terjadi pertarungan antarnegara dalam perebutan kue ekonomi, baik investasi, arus uang masuk, arus modal. Dan itu sangat sengit sekali,” kata Presiden Jokowi.
“Kita harus menentukan apa yang akan menjadi ”core ekonomi” kita, ”core business” negara kita karena dengan itulah kita akan bisa membangun posisi kita. Kita bisa membangun diferensiasi kita. Kita bisa membangun brand negara sehingga lebih mudah kita menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa harus kejar-kejaran, apalagi kalah bersaing dengan negara lain,” kata Jokowi.
Merespon Presiden Jokowi, Menteri Pariwisata Arief Yahya langsung memberanikan menyampaikan sektor pariwisata terkait inti bisnis Indonesia. Negara seperti halnya sebuah korporasi, harus memiliki core business sehingga kita dapat dengan tegas dan jelas menetapkan positioning, differentiating, dan branding dengan tepat.
“Menurut saya, core business negara ini adalah pariwisata,” ucap Arief Yahya.
Arief menyebutkan, pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif sehingga layak menjadi bangsa pemenang melalui industri pariwisata.
Pariwisata penghasil devisa terbesar. Tahun 2019, industri pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil devisa terbesar di Indonesia yaitu 24 miliar dolar, melampaui sektor migas, batubara, dan minyak kelapa sawit. Dampak devisa yang masuk langsung dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tahun 2019, pariwisata Indonesia ditargetkan menjadi yang terbaik di kawasan regional, bahkan melampaui ASEAN. Pesaing utamanya adalah Thailand dengan devisa pariwisata lebih dari 40 miliar dolar, sedangkan negara lainnya relatif mudah dikalahkan.
Wonderful Indonesia yang semula tidak diperhitungkan di dunia, tahun 2015, melesat lebih dari 100 peringkat ke urutan 47 mengalahkan country branding Truly Asia Malaysia (ranking 96) dan country branding Amazing Thailand (ranking 83). Country branding Wonderful Indonesia mencerminkan posisi dan pembeda pariwisata Indonesia.
Indonesia hanya akan dapat memenangi persaingan di tingkat regional dan global apabila seluruh kementerian/lembaga yang ada bersatu untuk fokus mendukung inti bisnis yang telah ditetapkan. Pariwisata bisa jadi pilihan kalau persoalan infrastrukturnya, juga masalah keamanan, terorisme dan gangguan kekerasan lain bisa terus diatasi.
Ada harapan, pariwisata bisa jadi alternative untuk menjawab pertanyaan dan tantangan Jokowi soal inti bisnis dan ekonomi Indonesia karena merosotnya perekonomian negeri ini. Tapi itu bukan satu-satunya jaminan, sebab pariwisata juga rentan dengan fluktuasi, gejolak dan ketidakpastian di dalam dan luar negeri seperti kasus Tunisia dan Yunani. (ts/inilah)