Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sri Edi Swasono menegaskan bahwa Neolib merupakan penjajahan model baru. "Itulah arti Neolib yang paling mudah dipahami," ucap Prof Sri Edi di sebuah diskusi peluncuran buku ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam’ di Gedung DPR siang tadi.
Ungkapan tersebut merupakan bentuk keprihatinan atas perampokan kekayaan alam Indonesia yang hingga saat ini masih berlangsung. Dan justru, perampokan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang mestinya bertanggung jawab untuk memakmurkan negeri yang kaya raya ini.
"Jika sebuah negara mengalami kevakuman kepemimpinan yang kredibel, maka yang muncul adalah preman-preman," tambah Sri Edi. "Termasuk di dalamnya pemerintah dan DPR," masih menurut Sri Edi.
Dia menjabarkan, bagaimana mungkin sebuah lembaga wakil rakyat bisa menggolkan 8 undang-undang yang isinya menjual kekayaan negara. "Yang kita lihat selama ini hanya pembangunan di Indonesia. Bukan pembangunan Indonesia," ucap aktivis yang masih aktif mengajar di Universitas Indonesia ini.
Itu artinya, pembangunan yang terlihat gemerlap tak lebih dari pembangunan properti milik asing yang numpang di Indonesia. Dengan kata lain, masih menurut Sri Edi, Indonesia tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Iman Sugema menambahkan betapa kekayaan alam negeri ini dikuras habis oleh asing. Ia mencontohkan, dalam satu tahun, 250 juta ton batubara digali dari perut bumi Indonesia. Dan hanya 65 juta ton saja yang diperuntukkan buat dalam negeri. Sisanya, dijual ke asing.
"Anehnya, dari sekian banyak kekayaan alam yang dikeruk, pemerintah Indonesia akan menurunkan royalti dari 13,5 persen menjadi hanya 9 persen dengan alasan memberikan daya tarik untuk datangnya investor baru," jelas Iman yang juga pengamat ekonomi ini.
Dari tahun ketahun, masih menurut Iman Sugema, kebijakan pemerintah tidak pernah berubah, dan selalu anti domestik. "Bagaimana mungkin Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara bisa dikalahkan dengan Exxon di Blok Cepu," ucap Sugema prihatin.
Dr. M. Fadhil Hasan, seorang pembicara lain juga menambahkan. "Semua perampokan kekayaan alam ini dilakukan dengan disain yang rapi," ucap Fadhil yang juga menulis pengantar di buku ini. Beliau menambahkan, publik tidak bisa tahu siapa di balik perampokan-perampokan ini. Tapi, kebijakannya begitu terasa, mulai dari Undang-undang yang pro investor, dan peraturan pemerintah pada tingkat implementasi.
"Kita begitu heran, bagaimana mungkin penjualan gas di blok Tangguh ke Cina dengan harga yang begitu murah," ucap Fadhil.
Di akhir diskusi, Profesor Edi Swasono menambahkan, pemerintahan yang neolib tidak akan pernah berpihak pada rakyat. Mereka lebih peduli dengan kekuatan asing.
Diskusi buku yang ditulis oleh Marwan Batubara ini juga menghadirkan pembicara lain, yaitu Dr. M. Fadhil Hasan, Dr. Shahibul Iman, dan Ir. Tjatur Sapto Edi. (mnh)
foto: nakerkesra