Lembaga Sensor Film (LSF) sebenarnya tidak ingin melakukan sensor pada setiap produksi film yang diserahkan kepadanya, apabila produser pembuat film tidak melanggar kaidah dan norma yang ada. Karena itu, LSF berupaya mendorong kreatifitas film di tanah air, dengan memperhatikan etika moral yang berlaku di tengah masyarakat.
"Tentu kewajiban LSF memotong dan menyensor apabila ada hal yang dinilai bertentang dengan aturan, karena itu produsen film harus mengetahui rambu-rambu mana yang boleh dan mana tidak boleh dimasukan dalam film tersebut, bila tidak disensor tentu akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, ” jelas Ketua LSF Titi Said kepada pers, di Jakarta, Senin (19/5).
Ia mencontohkan, film ML (Mau Lagi) yang saat ini sedang ramai ditolak penayangan oleh masyarakat, karena dinilai terlalu seronok, meski film tersebut masih dalam proses sensor oleh LSF.
"”Film tersebut hingga saat ini telah dipotong sekitar 50 persen termasuk merekomendasi penggantian judul, dan kami terus mengadakan konsultasi dengan pemilik film, tentang keadaan film dan pihak produsen sangat akomodatif dan menerima pemotongan tersebut, ” ujarnya.
Produsen Film Shanker mempertanyakanm kenapa film yang belum diedarkan, masih berada dalam tahap sensor sudah divonis meresahkan masyarakat.
"Masyarakat telah melihat di internet dan film itu dianggap terlalu vulgar serta seronok, padahal belum disensor. Karena itu apa yang ada di internet belum tentu ada di film yang sudah dipotong oleh LSF, " ungkapnya. (novel/bip)