Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla diusulkan mendapatkan nobel perdamaian. Alasannya, keduanya berjasa dalam menciptakan situasi damai di Aceh, di mana selama 30 tahun sebelumnya mengalami konflik antara pemerintah pusat dan rakyat Aceh.
“Ini memang susah dipisahkan karena masing-masing mempunyai peran, kalau bisa dua-duanya, bahkan tidak hanya berdua tetapi juga Hassan Tiro karena tanpa dia tidak akan ada perdamaian itu,” ujar anggota DPR dari F-PAN Ahmad Farhan Hamid kepada pers di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (27/9).
Menurutnya, peran Wapres dan Presiden itu luar biasa dan pantas menerima nobel perdamaian. Politisi asal Aceh itu mengungkapkan, selama 30 tahun konflik di Aceh, setiap hari rata-rata orang meninggal empat sampai lima orang, 1.800 orang dalam setahun atau 5.000 orang selama konflik.
“Kalau sekarang konflik itu berhasil dihentikan berarti dia berhasil menghentikan pembunuhan yang terus terjadi selama 30 tahun itu,” papar dia.
Masalahnya, kata Farhan, hadiah nobel itu hanya satu, maka timbul pertanyaan siapa yang berhak menerimanya. “Kalla memang mempunyai peran yang besar hingga tercapainya masalah ini, tapi saya yakin semua yang dijalankannya pasti atas persetujuan dan pengetahuan Presiden SBY,” jelas dia.
Pengamat politik dari Lembaga Studi Pengembangan Etika dan Usaha (LSPEU) Indonesia Fachry Ali senada dengan Farhan. Menurutnya, selain masalah nobel perdamaian, penyelesaian konflik di Aceh itu telah menggugurkan stigma kekuasaan dan kesewenang-wenangan dengan dialogis. “Ini merupakan watak baru dalam menyelesaikan konflik tanpa melalui arogansi tetapi dialog yang intensif,” katanya.
Fachry juga mengakui peran Jusuf Kalla yang sangat dominan dan langsung menangani hal-hal teknis untuk mecapai perdamaian di Aceh. Apalagi langkah yang ditempuh dalam perjanjian melalui cara di luar konvensi. “Tidak melibatkan diplomat ulung, tidak melibatkan orang Deplu setingkat Dirjen tetapi diambil orang-orang yang benar-benar di luar tugas diplomasi,” tegasnya. (dina)