Presiden Diminta Evaluasi Kerja Timnas Penanggulangan Lumpur Lapindo

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus segera mengevaluasi kinerja Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo dan segera menyusun langkah-langkah penanggulangan yang lebih maksimal dengan memperhatikan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk hak-hak mereka yang saat ini terpaksa harus menjadi penggungsi.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Chalid Muhammad kepada pers di Jakarta, Kamis (7/12), ada pelanggaran HAM oleh PT Lapindo Brantas terhadap warga korban lumpur Lapindo. Pelanggan itu antara lain, hilangnya mata pencaharian, hilanganya lingkungan yang sehat, dan hilanganya hak pendidikan.

"Pemerintah harus segera mengeluarkan keputusan untuk melarang penjualan saham oleh Energi Mega Persada kepada perusahaam lain, agar tidak terjadi upaya lepas tanggungjawab," ujarnya.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak Presiden dan Menteri terkait segera memanggil para pemegang saham PT Lapindo Brantas untuk memintakan tanggung jawab mereka secara mutlak dan keseriusan mereka dalam menggulangi seluruh upaya pengggulangan dampak semburan lumpur di Sidoarjo. Pernyatan kesungguhannya seharusnya dijadikan dokumen hukum, sehingga mengikat dan memiliki daya paksa.

Selain itu, katanya, DPR-RI diminta untuk menggunakan haknya memanggil Menteri-menteri terkait, Lapindo Brantas, Energi Mega Persada, Medco Energi, dan Santos dan melakukan pemaparan publik (public inquiry) mengenai kasus semburan lumpur demi memastikan proses tanggung gugat perusahaan dalam penanganan dampak lingkungan, ekonomi dan sosial.

Chalid menegaskan, jika para pemegang saham tersebut tidak mau bertanggungjawab, maka adalah tepat jika Lapindo Brantas, Bakrie Group, Medco dan Santos di masukan dalam daftar hitam (black list) dan seluruh izin yang telah diberikan atau kontrak yang telah ditandatangani untuk segera dicabut dan dibatalkan.

"Pemerintah juga segera meminta Bappepam untuk menyatakan pada seluruh pasar modal bahwa perusahan-perusahaan tersebut memiliki reputasi buruk karena tidak mau bertanggungjawab secara mutlak," sambungnya.

Kepolisian RI, tambah dia, agar terbuka, independen, dan profesional dalam penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh Lapindo Brantas. "Selama ini kami menilai bahwa cara kerja Kepolisian RI tidak terbuka dan profesional karena tidak adaknya informasi kepada masyarakat tentang siapa tersangka, pasal-pasal yang digunakan, tidak ada penahanan, dan terkesan ragu-ragu menerapkan tindak pidana korporasi," imbuh Chalid. (dina)