Mantan Pangkostrad Letjen Prabowo Subiyanto membantah berencana melakukan kudeta saat BJ Habibie menjadi presiden. Pernyataan Prabowo itu disampaikan berkaitan buku karya Habibie yang berjudul “Detik-Detik yang Menentukan.”
“Kalau soal pengerahan pasukan Kostrad di sekitar rumah Pak Habibie, Istana, Monas, dan wilayah Jakarta yang lain itu semata untuk mengamankan Jakarta. Bukan untuk makar. Apakah justru dugaan ini kemudian dijadikan alasan legalitas untuk mencopot saya sebagai Pangkostrad?” ujar Prabowo kepada wartawan di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (29/7).
Menurutnya, dugaan adanya kudeta akibat kondisi politik saat itu sangat tinggi, semua panik, dan ketakutan. Bahkan ia mengira ada sedikit insiunasi (rekayasa pikiran, red) kekhawatiran Habibie akan dibunuh.
“Semua itu menurut saya, sejauh menyangkut keterlibatan saya, saya memandang apa yang saya alami tidak seperti itu. Karena itu saya perlu menjelaskan pada publik karena setelah terbitnya buku Pak Habibie itu banyak pertanyaan yang meminta penjelasan terkait isi buku itu,” ujar Prabowo.
Meski Prabowo sendiri mengaku belum membaca seluruh isi buku tersebut, dan baru membaca bagian-bagian yang menyebut nama dirinya saja, ia tidak akan pernah menggugat isi buku tersebut, dan hanya meluruskan dan akan menyelesaikan secara kekeluargaan. “Yang jelas kalau ada yang menyangkut pihak lain, kita harap ada konfirmasi atau verifikasi untuk penguatan pendukung isi buku tersebut,” ujarnya berharap.
Soal pengerahan pasukan Kostrad saat itu, jelas Prabowo, semua berada di bawah Komando Pangdam Jaya Sjafrie Syamsudin. Hal itu bisa dikonfirmasi langsung ke yang bersangkutan yang kini menjabat sebagai Sekjen Dephan RI itu. “Waktu itu ketika dirinya datang dan menanyakan, kenapa dirinya diganti, Pak Habibie menjawab. Itu atas permintaan mertua Anda (Soeharto, red).”
Ketika ditanya bagaimana sikapnya sekarang terhadap Habibie, Prabowo menjelaskan dirinya tetap menghormati beliau, meski dirinya merasa syolk ketika diberhentikan oleh Habibie. Semula ketika baru membaca buku itu Prabowo merasa panas dan berencana gugat atau somasi.
“Tapi lama-lama saya berpikir kita kan punya jalan musyawarah. Semua agama mengajarkan memaafkan. Mungkin beliau khilaf, sehingga cukup secara kekeluargaan,” ujar Prabowo. (dina)